Butuh Dukungan Semua Pihak untuk Wujudkan Cita-Cita RA Kartini

Getting your Trinity Audio player ready...

JAKARTA (23 April): Butuh dukungan semua pihak untuk menjawab berbagai tantangan dalam mewujudkan emansipasi perempuan di Tanah Air.

“Saya pribadi menilai perempuan Indonesia belum merdeka, sebagaimana yang dicita-citakan RA Kartini. Masih banyak persoalan mendasar yang harus dihadapi perempuan, seperti bagaimana menekan angka kematian ibu melahirkan yang terus meningkat di Tanah Air,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulis pada diskusi daring bertema Hari Kartini 2025: Feminis Nusantara dari Masa ke Masa yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Veronica Tan (Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak /PPPA), Wardiman Djojonegoro (Penulis Buku Trilogi RA Kartini-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Periode 1993-1998), dan Julia Suryakusuma (Feminis Pancasila–Penulis) sebagai nara sumber.

Selain itu hadir pula Nancy Natalia Raweyai (anggota DPRD Provinsi Papua Tengah dari Fraksi Partai NasDem) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, tulisan pada surat-surat RA Kartini menunjukkan beragam gagasan atau pemikiran untuk memperjuangkan kesetaraan gender, kemudahan akses pendidikan, kebebasan berpikir, dan mengingatkan bahwa perempuan memiliki otonomi di tengah fenomena adat yang berlaku.

Rerie, sapaan akrab Lestari, menegaskan, kutipan pada surat-surat RA Kartini banyak menyuarakan bagaimana perempuan menjadi manusia yang utuh dan lengkap. “Bukan hanya menjadi pendamping,” ujarnya.

Selain itu, ungkap Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, RA Kartini juga secara tegas menyatakan bahwa perempuan memiliki potensi dan intelektual yang sama dengan laki-laki.

Oleh karena itu, tegas anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, perempuan berhak mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki.

Rerie menegaskan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan untuk mewujudkan cita-cita RA Kartini. “Mari kita bersama menuntaskan pekerjaan rumah itu,” pungkas Rerie.

Wardiman Djojonegoro mengungkapkan, tujuannya menulis buku Trilogi RA Kartini antara lain untuk meningkatkan kepedulian terhadap kesetaraan gender bagi para aktivis-aktivis muda.

Menurut Wardiman, sejumlah tantangan masih dihadapi perempuan saat ini.

Dengan populasi perempuan yang hampir separuh dari populasi penduduk Indonesia, ujar dia, hanya 50% perempuan yang bekerja. Sementara itu, jumlah laki-laki yang bekerja mencapai 90% dari populasi yang ada.

Surat-surat Kartini yang dihimpun dalam buku Trilogi RA Kartini, menurut Wardiman, mengungkapkan bahwa semangat dan ide-ide RA Kartini dalam memperjuangkan emansipasi ditempuh dan disampaikan dengan berbagai cara.

Bahkan, ungkap Wardiman, perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia sangat terbantu oleh paguyuban-paguyuban perempuan yang ada pada waktu itu.

Julia Suryakusuma berpendapat, moto Bhinneka Tunggal Ika tidak tercermin dalam menyikapi kepahlawanan perempuan.

Saat ini, ujar Julia, pemahaman kebanyakan orang pahlawan perempuan itu hanya RA Kartini.

Padahal, tambah dia, Inggit Gunarsih, istri Presiden RI pertama Soekarno, juga memiliki nilai-nilai perjuangan yang penting dalam mendorong dan mendukung Bung Karno dalam merebut dan mengisi kemerdekaan.

Menurut Julia, upaya untuk menulis perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut dan mengisi kemerdekaan harus terus dilakukan.

Julia berpendapat, sepak terjang Bu Inggit dalam keseharian mendampingi Bung Karno dalam mengambil keputusan bisa dijadikan tauladan.

Veronica Tan mengungkapkan, sampai hari ini partisipasi perempuan dalam politik dan perencanaan pembangunan masih terbilang rendah.

Padahal, menurut Veronica, selain urusan rumah tangga, perempuan juga sudah banyak terlibat di sektor pertanian, kehutanan, dan kelautan.

Namun, ujar dia, pada proses perencanaan pembangunan, perempuan jarang dilibatkan. Sejumlah kendala, jelas Veronica, dari sisi budaya patriaki dan stigma yang berkembang di masyarakat, menghadirkan beban ganda terhadap perempuan.

Veronica berpendapat, partisipasi 30% perempuan dalam politik harus menjadi bagian dari sistem sehingga ada kewajiban untuk melibatkan perempuan dalam perencanaan pembangunan.

Veronica mendorong agar stigma terhadap perempuan yang berkembang bisa segera disudahi. Karena, tegas dia, sejatinya perempuan memiliki kemampuan secara mandiri dalam mewujudkan cita-citanya.

Sejumlah langkah untuk memberdayakan perempuan, ungkap Veronica, coba diinisiasi pemerintah melalui program care economy.

Kehadiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan, tambah dia, memberikan perlindungan bagi perempuan.

Selain itu, jelas Veronica, standarisasi kerja perempuan sedang dipersiapkan dalam upaya mewujudkan perlindungan yang menyeluruh.

Ia mendorong agar dibangun sebuah sistem yang melibatkan dan memfasilitasi perempuan, sehingga menumbuhkan kemampuan bagi perempuan untuk mewujudkan cita-citanya.

Nancy Natalia Raweyai mengungkapkan, tindak kekerasan masih menjadi penghambat utama bagi perempuan di Papua.

Dalam konteks Papua, ujar Nancy, perempuan masih terbelenggu oleh hukum adat, yang hingga saat ini belum menemukan titik terang untuk keluar dari belenggu itu.

“Bagaimana kita menggerakkan generasi muda untuk menegakkan emansipasi, bila kepala suku bisa memiliki 20 istri?” tanya Nancy.

Dia berharap segera ada langkah konkret bersama untuk mengatasi kondisi tersebut. (*)

Add Comment