Legislator NasDem Dorong Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan KUR
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (7 Mei): Anggota Komisi VII DPR RI, Yoyok Riyo Sudibyo, meminta pemerintah memperkuat dukungan terhadap sektor ekonomi kreatif (ekraf), terutama dalam hal pembiayaan inklusif. Dia mendorong agar portofolio kekayaan intelektual pelaku ekraf bisa dijadikan jaminan dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR).
“Pemerintah sadar bahwa UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional. Karenanya pemerintah membuat program supporting, KUR namanya, dengan subsidi 10 persen. Tapi dari semua program subsidi lainnya, hanya KUR yang minim penyerapannya,” kata Yoyok, Rabu (7/5/2025).
Legislator Fraksi Partai NasDem DPR RI itu meminta pemerintah segera berkoordinasi dengan lembaga penyalur KUR untuk menyusun skema pembiayaan yang lebih ramah bagi pelaku ekraf, terutama yang kecil dan menengah.
Rendahnya serapan KUR di sektor ekraf menunjukkan adanya hambatan struktural, baik pada sisi regulasi maupun eksekusi kebijakan. Serapan KUR di sektor ekraf hanya 4,28% dari total KUR.
Padahal menurut Yoyok, regulasi untuk mendukung ekraf sudah tersedia melalui sejumlah peraturan seperti UU No. 24/2019 tentang Ekonomi Kreatif. Namun, sebagian besar pemerintah daerah belum mengalokasikan APBD secara optimal untuk sektor tersebut, karena status ekraf masih dianggap sebagai sub-urusan.
“Pemerintah sudah memberikan kebijakan untuk mempermudah rakyat, tapi pelakunya tidak bisa menyalurkan dengan baik. Ini bagaimana tanggung jawabnya kepada rakyat?” kata Yoyok.
Ia juga menyoroti berbagai kendala akses pembiayaan yang dihadapi pelaku usaha kreatif mikro, mulai dari syarat agunan hingga masalah riwayat kredit (BI checking). Ia menyebut banyak pelaku ekraf yang akhirnya terjerat pinjaman online karena sulitnya akses ke pembiayaan formal.
“Perhatikan lagi persyaratan-persyaratan KUR, agar program pemerintah ini bisa terserap oleh rakyat yang membutuhkan,” ujarnya.
Menurut Yoyok, lembaga keuangan juga perlu mengubah cara pandangnya terhadap aset kekayaan intelektual. Dia mencontohkan pelaku ekraf seperti desainer grafis, konten kreator, hingga musisi, yang memiliki aset berupa karya dan merek dagang bernilai tinggi, namun belum diakui sebagai agunan oleh bank.
“Sebanyak 64 persen penduduk Indonesia adalah anak muda kreatif yang berpenghasilan, namun tak memiliki slip gaji. Padahal mereka punya aset berupa konten, brand, atau karya. Tapi aset mereka itu belum dianggap bernilai di mata perbankan,” ungkapnya.
Yoyok juga memperingatkan bahwa jika pemerintah tidak segera menjadikan kekayaan intelektual sebagai jaminan pinjaman, potensi besar pelaku ekraf bisa diambil oleh pihak asing.
“Mereka para influencer sangat butuh, agar kekayaan intelektual mereka benar-benar dijadikan aset untuk agunan peminjaman. Saya harap Menteri Ekraf bisa mendorong hal ini,” tegasnya.
(Yudis/*)