Legislator NasDem Usulkan Pembentukan UU Perlindungan Pekerja Digital
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (21 Mei): Tepat pada perayaan Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), 20 Mei 2025, pengemudi ojek online (ojol) menggelar demonstrasi di sejumlah daerah, menuntut potongan tarif aplikasi tidak lebih dari 10%.
Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menilai sudah saatnya negara hadir dan berpihak pada para pekerja platform digital. Menurutnya, aksi unjuk rasa tersebut menggambarkan suatu bentuk kebangkitan yang berbeda, yakni kebangkitan para pekerja platform digital yang selama ini tertindas di balik istilah ‘mitra’.
“Pengemudi ojek online, taksi daring, hingga kurir logistik bukan hanya berjuang melawan panas dan hujan, tetapi mereka juga berjuang melawan sistem digital yang melucuti hak-hak dasar mereka sebagai pekerja,” tegas Nurhadi, Selasa (20/5/2025).
Nurhadi menyoroti pernyataan Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, yang menyebut pengemudi ojol kini hanya bisa membawa pulang Rp50.000-Rp100.000 per hari. Angka itu jauh di bawah upah minimum regional, apalagi jika dikurangi biaya operasional seperti bensin, perawatan kendaraan, dan cicilan motor. Sementara itu, perusahaan platform memotong hingga 70% dari ongkos jasa ojol.
Dalam satu kasus, kata dia, pengemudi hanya menerima Rp5.200 dari tarif Rp18.000 untuk pengantaran makanan, jauh melampaui batas potongan maksimal 20% yang telah diatur oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 667 Tahun 2022.
Menurut Nurhadi, kesenjangan antara kerja keras di lapangan dan penghasilan yang diterima para driver ojol adalah potret nyata dari ketimpangan struktural dalam ekonomi digital Indonesia.
“Dengan status ‘mitra’, perusahaan platform berhasil menghindar dari kewajiban membayar gaji tetap, tunjangan kesehatan, jaminan pensiun, cuti, dan perlindungan ketenagakerjaan lainnya. Ini adalah bentuk eksploitasi baru yang dikemas dengan teknologi,” tegas Nurhadi.
Padahal, kata Nurhadi, Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah mengindikasikan bahwa hubungan kerja tetap bisa diakui meskipun dalam skema kemitraan jika memenuhi unsur upah, pekerjaan, dan perintah.
“Sayangnya, tanpa regulasi yang kuat, posisi tawar para pengemudi tetap rapuh,” tegas Nurhadi.
Terkait hal tersebut, Nurhadi menilai DPR punya tanggung jawab konstitusional untuk menjawab problem hukum dan sosial akibat disrupsi digital.
“Apa gunanya Omnibus Law Cipta Kerja yang katanya pro investasi, jika ribuan pekerja digital tidak punya kepastian pendapatan, apalagi perlindungan?” ucapnya.
Nurhadi menyatakan perlu payung hukum baru berupa Undang-Undang Perlindungan Pekerja Digital yang secara tegas mengatur standar kerja layak.
Regulasi itu juga dapat mengatur soal transparansi algoritma platform, pembatasan komisi yang wajar, kewajiban jaminan sosial bagi pengemudi, hingga mendorong evaluasi terhadap kemitraan eksploitatif. (dpr.go.id/*)