Pendidikan Antikekerasan Penting untuk Cegah Kekerasan Seksual di Sekolah
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (21 Mei): Pendidikan antikekerasan seksual di sekolah penting bagi peserta didik dan masyarakat dalam upaya peningkatkan pemahaman, kesadaran, dan kewaspadaan untuk mencegah kekerasan seksual.
“Peningkatan kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini harus menjadi alarm buat semua pihak untuk mengedepankan pendidikan antikekerasan bagi para peserta didik dan masyarakat,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Pentingnya Pendidikan Antikekerasan Seksual di Sekolah yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 di Jakarta, Rabu (21/5/2025).
Diskusi yang dimoderatori Nur Amalia (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Ratih Megasari Singkarru (Kepala Kelompok Fraksi/Kapoksi Fraksi Partai NasDem Komisi X DPR RI), Rusprita Putri Utami (Kepala Pusat Penguatan Karakter/Puspeka, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah), Maria Ulfah Anshor (Ketua Komnas Perempuan), dan Ai Maryani Solihah (Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu hadir pula Endang Yuliastuti Juwardi (Guru SMP Negeri 19 Jakarta Selatan–Penggiat Sarinah Institute) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, dalam pendidikan antikekerasan seksual harus diawali dengan pendidikan tentang seksualitas yang mampu memberikan pemahaman secara komprehensif dari aspek religiositas, biologis, sosial, dan budaya.
Rerie, sapaan akrab Lestari berpendapat, edukasi tentang seksualitas dan kekerasan seksual membantu para pelajar memahami tentang hak atas tubuh, integritas dan martabat diri, kesehatan reproduksi serta kemampuan menghormati diri sendiri maupun orang lain.
Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu menilai, pemahaman tentang kekerasan seksual dan batasan dalam berinteraksi merupakan bekal awal yang mesti diajarkan.
Menurut Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, dengan peningkatkan pemahaman, kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terkait tindak antikekerasan seksual, diharapkan terbangun mekanisme pencegahan tindak kekerasan seksual di lingkungan masyarakat.
Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan, kekerasan seksual terjadi di lingkungan yang dekat dengan anak-anak kita.
Ratih mempertanyakan, apa yang sudah diterapkan terhadap anak-anak kita, sehingga mereka saat ini masih rentan terhadap tindak kekerasan seksual.
Ia menilai pentingnya literasi tubuh kepada anak sejak dini untuk mengenali tubuh dan privasi mereka.
Hal itu penting agar mereka tidak lagi diam bila ada perilaku yang melampaui batas. Sikap tersebut, jelasnya, dapat menumbuhkan ketahanan seksual pada anak.
Menurut Ratih, sekolah harus menjadi ruang aman dan menumbuhkan sadar nilai, sehingga anak bisa tumbuh seutuhnya.
Ratih berpendapat, kekerasan seksual dapat dicegah dengan pola pendidikan yang tepat sehingga menghasilkan sadar batas dan mental yang kuat.
Kolaborasi multi pihak yang kuat dan berkelanjutan, imbuhnya, diharapkan mampu mewujudkan pendidikan antikekerasan seksual yang melahirkan perlindungan dan kesadaran anak-anak.
Rusprita Putri Utami mengungkapkan, pendidikan yang bermutu untuk semua merupakan bagian dari program Asta Cita Pemerintahan Prabowo-Gibran.
Diakui Rusprita, dunia pendidikan saat ini masih menghadapi tantangan dalam bentuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual itu, tegas dia, berdampak luar biasa dan sulit dibuktikan.
Menurut Rusprita, dengan pendidikan karakter yang kuat diharapkan dapat mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mempercepat upaya pencegahan dan penanganan kekerasan, ujar Rusprita, melalui pembentukan satgas perlindungan anak pada pemerintahan daerah dan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada satuan pendidikan.
Selain itu, tegas dia, perlu percepatan tata kelola pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan.
Maria Ulfah Anshor berpendapat landasan hukum untuk mencegah kekerasan seksual sejatinya sudah ada mulai dari konstitusi hingga undang-undang.
Menurut Maria, konsep hak azasi manusia juga melekat pada setiap manusia termasuk anak. Sehingga aspek kesetaraan juga harus diterapkan bahwa setiap manusia itu merdeka dan memiliki hak yang sama.
Untuk menegakkan sejumlah aturan tersebut, tambah Maria, negara wajib bertanggung jawab dalam menindak pelanggaran terhadap norma hukum dan instrumen HAM yang berlaku.
Akar pemicu terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, menurut Maria, adalah terjadinya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban.
Selain itu, jelas dia, dampak patriarki juga mendorong terjadinya disharmoni yang berpotensi melahirkan tindak kekerasan.
Menurut Maria, upaya mencegah dan penanganan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak harus dilakukan secara sistematik, integratif, dan multi sektor.
Selain itu, tambah dia, penguatan peran keluarga dan akses perlindungan korban kekerasan seksual yang lebih baik sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual terhadap anak.
Ai Maryani Solihah berpendapat, anak itu kekuatan potensial yang dimiliki bangsa.
Menurutnya, sinkronisasi peraturan perundang-undangan terkait tindak kekerasan seksual yang ada sangat penting, sebagai langkah mewujudkan pencegahan dan penanganan yang lebih efektif.
Diakuinya, sistem perundang-undangan yang efektif dapat mendukung terbangunnya sistem perlindungan anak yang lebih baik.
Dalam upaya perlindungan anak, ujar Ai Maryani, harus memenuhi prinsip-prinsip kepentingan terbaik bagi anak.
Sementara itu, Endang Yuliastuti Juwardi berpendapat, pendidikan seksual penting untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan seksual.
Menurut Endang, kemampuan bernalar secara logis terkait perubahan yang terjadi pada tubuh, dapat membedakan laki-laki dan perempuan, dan memahami sejumlah tindak kekerasan seksual, dapat membangun kesadaran untuk melindungi diri dari kekerasan seksual.
Menurut Endang, pola pendidikan seksual di sekolah dapat segera dilembagakan sehingga mendapatkan alokasi waktu yang memadai agar dapat membangun pemahaman peserta didik terkait tindak kekerasan seksual.
Endang mengungkapkan, para guru saat ini membutuhkan pelatihan agar memiliki kemampuan dalam upaya pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.
Wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat, secara praktis untuk mencegah tindak kekerasan seksual perlu perpanjangan mata dan telinga untuk mengawasi lingkungan pendidikan, dengan memanfaatkan teknologi berupa CCTV.
“Siapa saja yang melakukan tindakan yang melanggar norma hukum yang berlaku dapat direkam,” tegas Saur.
Selain itu, ujar Saur, penting juga melibatkan penjaga dan tukang sapu sekolah yang bisa dipercaya untuk melakukan pengawasan lingkungan sekolah.
Dengan kombinasi pantauan secara teknologi dan melibatkan orang-orang yang bisa dipercaya, Saur meyakini, pola pencegahan dari tindak kekerasan seksual di lingkungan sekolah dapat dibangun. (*)