Kajian Psikologi Islam atas Dinamika Perselingkuhan Modern
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Oleh Dr. Ayu Alwiyah Aljufri
(Anggota Dewan Pertimbangan Partai NasDem)
PERSELINGKUHAN telah menjadi salah satu fenomena yang meresahkan dalam kehidupan rumah tangga kontemporer.
Meningkatnya akses terhadap teknologi, melemahnya nilai-nilai spiritual, dan perubahan gaya hidup turut memberi celah terjadinya pelanggaran terhadap kesetiaan.
Dalam masyarakat Muslim, fenomena ini tidak hanya dipandang sebagai krisis moral, tetapi juga sebagai kegagalan dalam pengelolaan spiritual dan psikologis individu.
Kajian psikologi Islam menawarkan pendekatan yang khas dan komprehensif dalam memandang fenomena ini. Ia tidak hanya menelusuri motif perilaku dari sisi kejiwaan, tetapi juga mengaitkannya dengan kondisi iman, dominasi nafsu, dan dampak dari luka psikologis masa lalu.
Artikel ini bertujuan menelaah akar penyebab, dampak, serta pendekatan penyembuhan atas perselingkuhan dalam kerangka psikologi Islam kontemporer.
Perspektif Psikologi Umum tentang Perselingkuhan
Dalam psikologi modern, perselingkuhan didefinisikan sebagai pelanggaran terhadap komitmen eksklusif dalam hubungan, baik yang bersifat emosional, fisik, maupun digital.
Beberapa teori menjelaskan penyebab umum terjadinya perselingkuhan, yaitu:
1. Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi.
2. Gangguan keterikatan (_attachment issues_).
3. Pengalaman masa kecil yang traumatis.
4. Impuls sesaat atau dorongan biologis.
Contohnya, teori _attachment_ menyebut bahwa individu dengan pola keterikatan tidak aman (_anxious_ atau _avoidant_) cenderung mencari rasa aman di luar hubungan utama. Sementara itu, pendekatan behavioristik melihat perselingkuhan sebagai perilaku yang diperkuat oleh imbalan sesaat tanpa memperhitungkan konsekuensi jangka panjang.
Dampaknya sangat luas, tidak hanya terhadap pasangan, tetapi juga terhadap anak-anak dan struktur keluarga. Rasa tidak aman, trauma emosional, hingga disfungsi sosial sering kali menyusul setelah peristiwa ini.
Pandangan Islam terhadap Perselingkuhan
Dalam Islam, kesetiaan dalam pernikahan bukan hanya norma sosial, melainkan bagian dari perintah Ilahi. Perselingkuhan dipandang sebagai bentuk khianat terhadap amanah, dan jika mengarah pada zina, maka menjadi dosa besar.
“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS Al-Isra: 32)
Bahkan Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada iman bagi orang yang tidak bisa dipercaya.” (HR Ahmad)
Psikologi Islam memahami bahwa tindakan seperti perselingkuhan bermula dari lemahnya pengendalian nafsu, dominasi nafs ammarah bis suu’ (jiwa yang memerintahkan kepada keburukan), serta tipisnya keimanan.
Penyebab Perselingkuhan dalam Konteks Kontemporer: A. Faktor Internal
1. Lemahnya spiritualitas: Jauh dari Allah berarti kehilangan rasa takut dan malu atas pengawasan-Nya.
2. Luka batin masa lalu: Individu yang pernah mengalami pengabaian atau pelecehan emosional rentan mencari validasi eksternal.
3. Ketidakpuasan dalam pernikahan: Kurangnya komunikasi dan pengelolaan emosi sering kali menjadi pemicu utama.
B. Faktor Eksternal
1. Media sosial dan pornografi: Membuka pintu pada interaksi yang tidak syar’i.
2. Budaya permisif: Normalisasi hubungan di luar nikah dalam budaya pop melemahkan sensitivitas terhadap dosa.
3. Lingkungan kerja yang longgar: Interaksi tanpa penjagaan etika menjadi awal dari kehancuran relasi.
Dalam psikologi Islam, semua penyebab ini dikembalikan pada lemahnya kontrol terhadap nafsu dan tidak terbinanya hati yang tunduk pada perintah Allah.
Trauma dan Luka Psikologis
Perselingkuhan menciptakan luka jiwa yang mendalam, terutama bagi korban. Banyak yang kehilangan rasa percaya, harga diri, bahkan mengalami kecemasan atau depresi berat. Rasa dikhianati sering kali lebih menyakitkan daripada kehilangan.
Dari sudut pandang psikologi Islam, luka tersebut merusak ketenangan jiwa (qalbun salim) yang menjadi tujuan hidup seorang Muslim. Trauma ini bahkan bisa diwariskan ke generasi berikutnya, anak-anak tumbuh dalam suasana tidak aman, dan berisiko mengulangi pola yang sama.
Terapi dan Solusi dalam Psikologi Islam: A. Bagi Pelaku.
1. Taubat nasuha: Sebagai bentuk pembersihan hati (QS At-Tahrim: 8).
2. Muhasabah dan dzikir: Untuk menumbuhkan kesadaran dan kontrol diri.
3. Perbaikan spiritual: Melalui sholat malam, kajian, dan puasa sunnah.
4. Konseling Islami: Untuk memahami akar masalah dan membentuk pola pikir yang baru.
B. Bagi Korban
1. Kedekatan spiritual: Mengambil kekuatan dari ibadah dan doa.
2. Support system Islami: Majelis ilmu dan lingkungan yang menenangkan jiwa.
3. Ekspresi emosional sehat: Menulis, curhat, atau berkonsultasi dengan ahli.
4. Memaafkan dengan bijak: Bukan untuk membenarkan, tapi untuk menenangkan jiwa.
C. Untuk Keluarga dan Masyarakat
1. Pendidikan nilai sejak dini: Menanamkan iffah dan taqwa dalam rumah.
2. Komunikasi terbuka: Membangun ruang dialog dalam rumah tangga.
3. Konten dakwah digital: Melawan narasi permisif dengan pesan tauhid dan kesetiaan.
Dari Luka Menjadi Cahaya
Seorang suami di Jawa Barat pernah terjebak dalam hubungan gelap. Ketika anaknya bertanya, “Kenapa ayah jarang pulang?”, hatinya hancur.
Ia menyadari bahwa dosanya tidak hanya menyakiti istri, tapi juga merusak psikologi anaknya.
Dalam satu kajian, ia mendengar kalimat: “Jika kau tak bisa menjadi ayah yang sempurna, jadilah ayah yang terus belajar mencintai dengan benar.”
Ia menangis, bertaubat, memutuskan semua hubungan gelap. Kini ia dan istri rutin menghadiri kajian keluarga, memperbaiki komunikasi, dan membina rumah tangga dengan dzikir serta kejujuran.
“Kadang Allah hancurkan sebagian hidupmu agar kau sadar siapa yang harus kau jaga.”
Perselingkuhan bukan sekadar pelanggaran terhadap pasangan, melainkan luka dalam yang mengoyak kepercayaan, merusak tatanan keluarga, dan menghianati amanah Allah.
Ia menciderai cinta yang suci, mencemari ketulusan hati, dan mengguncang pondasi rumah tangga.
Fenomena ini berakar dari lemahnya kendali nafsu, minimnya kedalaman spiritual, serta keretakan komunikasi yang dibiarkan tanpa solusi. Ketika cahaya iman redup, dan suara hati dibungkam, maka syahwat mengambil alih, membutakan akal dan nurani.
Psikologi Islam mengajarkan bahwa solusi tak cukup hanya dengan terapi sekuler. Jiwa yang terluka perlu disentuh dengan iman, dibersihkan dengan taubat, dan dipeluk oleh kekuatan doa. Dalam sujud, dzikir, dan air mata keikhlasan, ada jalan pulang bagi siapa pun yang ingin memperbaiki diri.
Jangan biarkan satu kesalahan meruntuhkan seluruh masa depan. Jangan biarkan satu nafsu menghancurkan warisan kebajikan yang ingin kita tinggalkan untuk anak-anak.
Bangkitlah, perbaikilah, dan bersandarlah kepada Allah yang Maha Penyayang. Karena rumah tangga yang diberkahi dibangun bukan dengan kesempurnaan, melainkan dengan kejujuran, perjuangan, dan doa yang tak pernah putus.
“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai.” (QS Al-Fajr: 27–28).
(WH/GN)