Hijrah Pikiran dan Perilaku: Revolusi Diri Anak Muda Zaman Ini

Getting your Trinity Audio player ready...

Oleh Dr Ayu Alwiyah Aljufri

-Anggota Dewan Pertimbangan DPP Partai NasDem
-Akademisi dan Peneliti Kajian Psikologi Islam dan Spiritualitas

 

DI TENGAH gelombang informasi, kebebasan ekspresi, dan krisis identitas yang melanda generasi muda hari ini, hijrah tidak lagi cukup dimaknai sebagai perubahan fisik atau simbolik semata. Lebih dari itu, hijrah sejati adalah perjalanan revolusioner dari cara berpikir menuju cara hidup yang lebih selaras dengan fitrah, nilai-nilai Islam, dan keseimbangan psikologis.

Islam mengajarkan bahwa perubahan sejati dimulai dari dalam diri. Sebagaimana firman Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Dalam konteks psikologi, ini beririsan dengan konsep self-awareness dan cognitive restructuring di mana pikiran yang sehat menjadi akar dari tindakan yang sehat. Maka, ketika anak muda berhijrah, semestinya ia tidak hanya mengganti penampilan, tetapi juga menyembuhkan cara berpikir, mengelola emosi, dan memperbaiki relasi dengan diri, sesama, dan Tuhannya.

Untuk memahami proses hijrah yang lebih utuh dan menyentuh akar revolusi diri, mari kita lihat dimensi-dimensi transformasi yang menyatu dalam Islam dan psikologi berikut ini:

1. Makna Hijrah dalam Dimensi Psikologi dan Rohani

Hijrah bukanlah pelarian dari masalah hidup atau pencitraan semu, melainkan sebuah peralihan sadar dan terarah dari kegelapan menuju cahaya, dari kebiasaan yang melemahkan jiwa menuju nilai-nilai yang memuliakan rohani dan memperkuat akal. Dalam bahasa Al-Qur’an, hijrah adalah proses keluar dari kebatilan menuju jalan yang diridhai Allah.

Secara psikologis, hijrah melibatkan keseimbangan antara tiga elemen utama dalam diri manusia:
1.Thought (pikiran) – bagaimana seseorang memaknai hidup, diri, dan pengalaman. Pikiran negatif yang tidak tersaring dapat mengganggu spiritualitas dan kesehatan jiwa.
2. Emotion (emosi) – kemampuan mengelola perasaan seperti marah, cemas, iri, atau sedih dengan cara yang sehat dan sesuai syariat.
3. Behavior (perilaku) – cerminan dari apa yang diyakini dan dirasakan. Perilaku yang ikhlas dan bermanfaat adalah tanda dari jiwa yang sedang berhijrah.

Dalam dimensi rohani, hijrah adalah tazkiyah (penyucian jiwa) dan tajdid (pembaruan iman). Ia mengubah cara pandang terhadap dunia, memperhalus hati, dan memperkuat hubungan vertikal kepada Allah serta horizontal dengan sesama manusia.

2. Pikiran sebagai Pusat Revolusi Diri

Dalam psikologi modern, khususnya melalui pendekatan Cognitive Behavioral Therapy (CBT), dijelaskan bahwa pikiran adalah akar dari perasaan dan tindakan.

Seseorang yang memelihara pola pikir negatif—seperti merasa tak berharga, pesimis, atau penuh prasangka, akan lebih rentan mengalami gangguan emosional seperti kecemasan dan depresi, yang akhirnya tercermin dalam perilaku destruktif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

CBT berlandaskan prinsip bahwa jika kita ingin mengubah emosi dan perilaku, maka kita harus mulai dari mengubah cara berpikir. Pikiran bukan hanya bayangan dalam kepala, tetapi kekuatan yang membentuk arah hidup.

Sejalan dengan itu, Islam telah lebih dulu menekankan pentingnya kesadaran dan niat sebagai landasan amal. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Niat (niyyah) dalam Islam bukan sekadar permulaan, melainkan penentu nilai dari suatu amal. Maka, perubahan sejati dalam diri seorang Muslim, terutama anak muda yang sedang berhijrah dimulai dari revolusi cara berpikir: dari sekadar mengikuti arus, menuju kesadaran atas tujuan, makna, dan dampak dari setiap langkah hidup.

Dengan pikiran yang jernih dan niat yang lurus, hati menjadi lebih tenang, emosi lebih stabil, dan perilaku menjadi lebih bermakna. Inilah pusat perubahan, pusat hijrah yang sesungguhnya.

3. Perilaku yang Tumbuh dari Hati yang Bersih

Hijrah perilaku bukanlah sekadar mengganti gaya hidup secara lahiriah, seperti mengubah cara berpakaian, pola makan, atau rutinitas ibadah melainkan sebuah manifestasi dari perubahan batin yang tulus. Dalam Islam, perubahan perilaku yang bernilai adalah buah dari hati yang dibersihkan dan dimaknai ulang melalui pandangan hidup yang benar.

Hal ini selaras dengan konsep tazkiyatun nafs dalam Al-Qur’an, yaitu proses penyucian jiwa dari segala kotoran seperti kesombongan, dengki, cinta dunia yang berlebihan, dan hawa nafsu yang liar. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9)

Dalam ilmu psikologi, proses ini mirip dengan apa yang disebut self-regulation, kemampuan untuk mengenali emosi, mengendalikan dorongan, dan membentuk kebiasaan positif yang konsisten dengan nilai-nilai pribadi. Namun dalam Islam, penyucian jiwa memiliki dimensi spiritual yang lebih dalam: membersihkan hati agar dapat menerima cahaya hidayah dan bertindak atas dasar cinta dan taqwa kepada Allah.

Dengan hati yang bersih, perilaku seseorang tidak lagi digerakkan oleh ego, tekanan sosial, atau pencitraan, melainkan oleh kesadaran yang lembut namun kuat akan makna hidup, kebaikan, dan tanggung jawab sebagai hamba Allah. Dari hati yang jernih akan lahir amal yang ikhlas dan berkelanjutan.

4. Tantangan dan Godaan Era Modern

Generasi muda hari ini hidup di era yang penuh kemudahan, tetapi juga dibayangi oleh krisis makna dan identitas. Di tengah gelombang teknologi dan keterhubungan digital, muncul tantangan-tantangan psikologis dan spiritual yang tak kasat mata, namun sangat nyata dampaknya terhadap jiwa.

1. Krisis Eksistensi di Era Media Sosial

Media sosial telah menjadi panggung pencitraan, tempat banyak orang mencari validasi diri dari angka misalnya: likes, views, dan followers. Ini melahirkan generasi yang mudah goyah karena kebergantungan pada pengakuan eksternal, bukan pada nilai diri yang sejati. Akibatnya, muncul gejala rapuhnya eksistensi, di mana seseorang merasa tidak cukup berarti tanpa pengakuan orang lain.

Dalam Islam, kemuliaan seseorang tidak diukur oleh penilaian manusia, melainkan oleh ketakwaannya: “Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

2. Tekanan Budaya Instan dan Standar Dunia yang Superfisial

Kultur instan mendorong anak muda mencari hasil cepat, tanpa proses. Kesuksesan dianggap sebagai sesuatu yang harus segera diraih, bahkan jika harus mengorbankan nilai, integritas, atau waktu bersama Allah. Budaya ini juga membentuk standar kebahagiaan semu, seolah-olah semua orang harus cantik, kaya, viral, dan selalu bahagia.

Padahal, dalam Islam, proses (ikhtiar) dan kesabaran (shabr) jauh lebih utama daripada hasil duniawi yang sementara: “Dan bersabarlah; sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)

Hijrah di era modern bukan hanya berpindah dari yang haram ke yang halal, tapi juga dari pencarian eksistensi semu ke pencapaian makna sejati. Dari mengejar pujian manusia ke mencari ridha Allah. Dari sibuk membandingkan hidup dengan orang lain ke fokus menyempurnakan diri dan iman.

5. Strategi Hijrah yang Berkelanjutan

Hijrah sejati bukan sekadar letupan semangat sesaat, melainkan proses panjang yang membutuhkan konsistensi, kesadaran, dan dukungan. Agar hijrah tidak terhenti di tengah jalan, perlu strategi yang membumi sekaligus bersandar pada kekuatan rohani. Berikut tiga strategi utama untuk menjaga hijrah tetap hidup dalam diri anak muda zaman ini:

1. Membentuk Support System yang Sehat

Perubahan perilaku seringkali tidak akan bertahan jika seseorang tetap berada dalam lingkungan yang lama dan toksik. Maka, salah satu kunci penting hijrah adalah membangun lingkaran pertemanan dan komunitas yang saling menguatkan dalam kebaikan.

Dalam Islam, Allah berfirman: “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya.” (QS. Al-Kahfi: 28)

Teman yang saleh bukan hanya mengingatkan saat kita lupa, tetapi juga menjadi penopang saat kita lemah. Hijrah bukan untuk dijalani sendirian.

2. Menata Waktu, Informasi, dan Pergaulan secara Islami dan Reflektif

Di era banjir informasi dan distraksi digital, pengelolaan waktu dan konsumsi informasi menjadi bentuk ibadah modern. Waktu yang tidak tertata, informasi yang tak disaring, dan pergaulan tanpa nilai bisa menggagalkan proses hijrah.

Rasulullah SAW bersabda: “Dua nikmat yang banyak dilalaikan manusia: kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Maka, menjadwalkan waktu untuk ibadah, belajar agama, menjaga jarak dari konten negatif, serta selektif dalam bergaul adalah bentuk hijrah yang nyata di zaman sekarang.

3. Terapi Spiritual: Dzikir, Tilawah, dan Tadabbur

Hijrah yang kuat bertumpu pada hubungan batin yang intim dengan Allah. Inilah yang membuat perubahan terasa lebih ringan, karena bukan sekadar tugas, tapi bentuk cinta. Dzikir melembutkan hati, tilawah memperkuat jiwa, dan tadabbur menuntun pikiran pada makna.

Allah berfirman: “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)

Spiritualitas adalah terapi paling ampuh bagi jiwa yang haus makna. Dengan menghidupkan interaksi pribadi dengan Al-Qur’an dan dzikir, maka hijrah tidak lagi terasa berat, karena hati menemukan rumahnya.

Hijrah, Jalan Pulang Menuju Fitrah

Hijrah pikiran dan perilaku adalah bentuk jihad paling sunyi di zaman paling bising. Ia bukan tentang tampilan luar semata, tapi tentang perjuangan batin yang tak terlihat, tentang melawan ego, hawa nafsu, dan luka batin yang diwariskan zaman.

Di tengah dunia yang terus berubah, generasi muda tak cukup hanya dipompa dengan motivasi sesaat. Mereka butuh kesadaran yang tumbuh dari dalam, bahwa perubahan sejati lahir ketika hati kembali mengenal Tuhannya, ketika pikiran diluruskan oleh cahaya kebenaran, dan ketika langkah hidup tidak lagi digerakkan oleh sorak dunia, tapi oleh bisikan nurani dan petunjuk Ilahi.

Hijrah bukan trend. Ia adalah panggilan jiwa. Sebuah panggilan untuk kembali menjadi manusia sejati yang jujur pada dirinya, teduh dalam hubungannya dengan Allah, dan lembut dalam bersikap kepada sesama.

Hijrah bukan tentang seberapa cepat berubah, tapi tentang seberapa tulus kita ingin pulang ke fitrah, ke hati yang bersih, pikiran yang jernih, dan hidup yang penuh makna.

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka akan mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak…” (QS. An-Nisa: 100)

Hijrah sejati adalah perjalanan kembali, bukan ke tempat, tapi ke hakikat diri yang Allah ridai. Dalam kata-kata Imam Al-Ghazali, “Hijrah adalah meninggalkan kebiasaan yang mematikan hati menuju amal yang menghidupkan ruh.”

Maka wahai generasi muda, jangan takut untuk berubah. Jangan ragu untuk kembali. Sebab Allah tidak menunggu kesempurnaanmu, tapi langkah pertamamu.

Wallahu a‘lam bissawab.

(WH/KL)

Add Comment