Kondisi Politik Timur Tengah (1) Semakin Mengancam Dunia, Terutama Asia dan Negara Islam

Getting your Trinity Audio player ready...

Oleh:Habib Mohsen Hasan Alhinduan

(Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem)

 

KUBU Yahudi yang dimotori Israel secara ekplisit didukung oleh persatuan zionis international yang secara tidak langsung dipropaganda oleh Amerika dan sekutunya.

Kabar terbaru perang Iran-Israel bakal memasuki masa gencatan senjata. Namun, ini masih memunculkan tanda tanya.

Diakui atau tidak, posisi Iran memiliki sejarah politik yang mampu menghancurkan geopolitik Amerika di era Imam Khomeini yang sekaligus menjatuhkan kekuasaan Reza Pahlevi sebagai sekutu sejati Amerika.

Saat Khomeini berkuasa, sosok yang satu ini ditakuti oleh Amerika dan sekutunya karena ditengarai bakal melahirkan persatuan dan kesatuan umat Islam.

Namun, hal itu tidak terjadi karena Amerika dan sekutunya memanfaatkan perselisihan antara Syiah dan Sunni. Mayoritas penduduk Iran orang Persia, bukan Arab pun dihembus-hembuskan. Ajaran Syiah yang dianut Iran bukan dari ajaran Nabi Muhammad SAW, bahkan disebut sebagai ajaran atau aliran sesat.

Fitnah ini berhasil karena kekuatan asing itu memanfaatkan tokoh-tokoh Islam garis keras seperti Wahabi yang disponsori Arab Saudi dan sekutunya. Mereka menyebarkan fitnah bahwa Syiah bukan Islam melalui media online, cetak dan buku-buku induk yang diterbitkan melalui penerbit-penerbit recehan dan dibagikan secara gratis ke seluruh dunia.

Kesadaran umat muslim yang beraliran Syiah di kota-kota Arab Saudi, Emirat Arab, Kuwait, Mesir semakin tumbuh berkembang dan memiliki kekuatan politik yang tidak boleh dianggap enteng.

Strategi politik Amerika (Yahudi), terutama bagi Arab Saudi dan sekutunya, terus melakukan intimidasi secara senyap yang mengancam kekuasaan mereka, sehingga mereka menerima politik normalisasi walaupun dikecam oleh segelintir negara-negara Arab lainnya.

Kekuatan Yahudi sudah memasuki area-area strategis para penguasa Arab. Perempuan Yahudi dijodohkan dengan putra penguasa Arab Saudi. Mereka juga melakukan pencucian otak agar membenci Syiah alias Iran dan diisukan akan membantai golongan Sunni (ini sudah terjadi di negara Arab).

Kekuasaan Arab saat ini di bawah monitor penuh oleh Yahudi (Amerika) dengan ancaman apabila pemimpin Arab membelot akan dibunuh atau memunculkan gejolak antipenguasa seperti yang dialami Raja Faisal, Kadhafi, Sadam Husein, Yasser Arafat dan lain-lain.

Posisi Iran yang diam-diam dibantu Rusia, China, Pakistan, Yaman membuat Amerika ketakutan dengan kekuatan nuklir yang dimiliki oleh Iran. Itulah sebabnya mengapa AS merasa perlu menghancurkan “pabrik” nuklir di Iran beberapa hari lalu.

Rasa khawatir terhadap Iran sering kali muncul dari sejumlah negara Arab seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Yordania, dan para sekutunya. Meski secara terbuka mengecam, sikap mereka kerap dinilai menyetujui tekanan politik dan agresi yang dilancarkan oleh Amerika Serikat dan Israel terhadap Iran.

Di dalam negeri, sistem politik Iran cukup terbuka. Warga dari berbagai latar belakang, baik Syiah maupun Sunni, hidup berdampingan dalam suasana aman dan damai. Meski Iran menghadapi sanksi ekonomi dari PBB, hal itu tidak secara signifikan mengguncang stabilitas politik dalam negeri.

Iran tetap dapat menjual minyaknya ke sejumlah negara seperti Tiongkok dan Rusia dengan harga yang kompetitif, bahkan lebih murah dari harga pasar dunia. Ketika Amerika Serikat menawarkan minyak dengan harga lebih rendah sebagai strategi untuk menekan ekonomi Iran, Tiongkok tetap memilih membeli minyak dari Iran.

Iran juga pernah menawarkan bantuan ekonomi kepada Indonesia tanpa syarat-syarat berat seperti yang seringkali ditetapkan oleh negara lain. Ini berbeda, misalnya, dengan Arab Saudi yang kerap menjanjikan kerja sama melalui nota kesepahaman (MoU), tetapi dalam praktiknya minim realisasi dan diiringi doktrin yang kurang sejalan dengan kepentingan nasional.

Dalam politik luar negerinya, Iran menunjukkan pendekatan yang tegas namun elegan. Tidak ada tekanan tersembunyi yang memaksa negara lain mengikuti pandangan keagamaannya. Hal ini berbeda dengan sebagian kebijakan Arab Saudi yang kadang diiringi kewajiban menyebarkan paham Wahabisme atau Salafisme yang berpotensi memecah belah umat.

Ketika Iran membalas serangan Israel, tindakan itu dinilai sebagai bentuk menjaga kehormatan dan kedaulatan negara, serta membela prinsip keimanan. Meski menghadapi tantangan dari dalam, termasuk keberadaan pihak-pihak yang dianggap berkhianat, Iran tetap berdiri teguh dan berani menghadapi tekanan eksternal.

Kita sependapat, perang Iran-Israel harus diakhiri, sebab jika berlanjut, situasi politik di Timur Tengah akan
semakin mengancam dunia, terutama negara-negara di Asia dan negara-negara Islam.

(Bersambung)

(WH/GN)

Add Comment