Membedah Krisis Kesehatan Infeksi Menular Seksual di Puncak Bogor (1)

Getting your Trinity Audio player ready...

Oleh: Kolonel (Purn) dr. Friedrich Max Rumintjap, SpOG, Subspes.Obginsos, MARS

Ketua DPD NasDem Kabupaten Bogor/ Praktisi Kesehatan

 

PENGGEREBEKAN pesta gay di sebuah vila kawasan wisata Puncak, Kabupaten Bogor, belum lama ini bukan semata skandal yang menggemparkan ruang publik.

Di balik 30 terduga pelaku dari 75 peserta yang dinyatakan reaktif HIV dan sipilis tersimpan fragmen yang lebih dalam daripada sekadar insiden moral.

Sebagai pemerhati kesehatan masyarakat dari sudut ilmu administrasi, saya tidak cukup hanya mengernyitkan dahi atau mengutip pasal pidana.

Kita perlu membuka cakrawala lebih luas: bagaimana sistem publik kita bekerja, atau justru gagal bekerja, dalam mengantisipasi, mencegah, dan merespons kejadian semacam ini dan dampaknya.

Dari perspektif tata kelola publik, ini bukan sekadar soal perilaku individu atau pelanggaran norma, melainkan cermin retak dari sistem pengawasan kesehatan yang abai membaca perubahan sosial, ruang privat yang menjadi rawan tanpa pelindung, dan mobilitas lintas kota yang tak terjangkau mekanisme birokrasi lokal.
Sebagai seorang tenaga medis yang memiliki kompetensi di bidang kesehatan reproduksi, sebagai alat pembedah, saya bertanya apakah kita memiliki desain kelembagaan, instrumen regulatif, dan jaringan respons yang mampu bekerja proaktif, bukan sekadar reaktif?

Tulisan ini mencoba memberikan analisis menyeluruh menggunakan pendekatan NOISE—sebuah kerangka evaluatif dalam ilmu administrasi yang mencerminkan empat elemen kritis: Need (kebutuhan), Opportunity (peluang), Improvement (perbaikan), dan Strength/Exception (kekuatan dan pengecualian).

Pendekatan ini dipilih karena kemampuannya mengintegrasikan dimensi kelembagaan, sosial, dan spasial dalam membaca krisis. Ia tidak hanya mengurai sebab-akibat, tetapi juga menelusuri titik-titik buta (blind spots) dalam sistem layanan publik, dan membuka ruang untuk rekonstruksi kebijakan yang lebih inklusif dan efektif.

Mengapa NOISE? Karena dalam dinamika pemerintahan lokal, sering kali kebijakan berjalan dalam diam, bekerja senyap atau justru tidak bekerja sama sekali. NOISE memaksa kita melihat ke dalam, mengidentifikasi kebutuhan yang belum terpenuhi (Need), menggalang momentum untuk perbaikan struktural (Opportunity), mengakui lubang dalam intervensi yang perlu diperbaiki (Improvement), dan menggali kekuatan yang bisa dilembagakan atau justru mengekspos pengecualian yang menggagalkan sistem (Strength/Exception).
Dengan kerangka ini, kita tak lagi hanya mengurusi permukaan dari fenomena Puncak, tetapi menyelami kedalaman sistemik dari krisis kesehatan yang sesungguhnya, yaitu hilangnya sistem deteksi dini, tumpulnya literasi seksual publik, dan kaburnya batas yurisdiksi tanggung jawab.

Oleh karena itu, mari kita mulai telaah kasus ini bukan dengan prasangka, tetapi dengan pertanyaan administratif yang tajam: di mana sistem gagal melihat, siapa yang seharusnya bertindak lebih awal, dan bagaimana desain ulang kelembagaan kesehatan masyarakat dapat mencegah tragedi serupa terulang kembali?
Melalui pendekatan NOISE, kita akan coba membongkar bukan hanya peristiwa, melainkan pola kegagalan dan peluang transformasi yang tersimpan di dalamnya.

Puncak Bogor bukan sekadar kawasan peristirahatan yang dikunjungi banyak wisatawan di akhir pekan. Pada malam 22 Juni 2025, sebuah vila di sana berubah menjadi saksi bisu dari darurat kesehatan yang selama ini bersembunyi di balik kemegahan pariwisata dan kelengahan sistem.

Penggerebekan pesta gay yang melibatkan 75 orang, dengan 30 di antaranya dinyatakan reaktif HIV, bukan hanya peristiwa kriminal atau moral, tetapi lonceng kematian bagi sistem deteksi dini yang selama ini gagal membaca dinamika sosial.

Peristiwa ini bukan pengecualian, tetapi indikasi nyata dari kebutuhan yang telah lama dibiarkan mengambang tanpa respons kelembagaan yang terstruktur.

Dalam kajian administrasi publik, peristiwa ini menyuarakan satu hal mendasar bahwa negara gagal mengenali kebutuhan sistemik yang sesungguhnya.

Kebutuhan bukan hanya alat tes atau tim skrining, melainkan sistem governance yang mampu mengenali perubahan perilaku sosial, menjangkau ruang-ruang privat yang menjadi titik rawan, dan membangun ekosistem deteksi yang lintas sektor serta lintas wilayah.

Apa yang terjadi di Puncak menunjukkan kekosongan peran negara dalam wilayah abu-abu ini — sebuah ruang tanpa regulasi, tanpa pelaporan, tanpa intervensi. Dengan kata lain ini adalah sebuah vacuum of accountability.

Ketiadaan mekanisme pelaporan komunitas, lemahnya literasi seksual publik, dan tidak adanya sistem pendeteksian perilaku kolektif di ruang pariwisata adalah simptom dari krisis struktural.

Bahwa laporan pertama datang dari warga yang merasa terganggu, bukan dari jejaring formal atau sistem kesehatan lokal, menunjukkan keterputusan antara sistem birokrasi dan realitas sosial di lapangan.

Dalam pendekatan administrasi yang berbasis respons adaptif, situasi ini adalah sinyal keras bahwa kita tidak memiliki sistem yang mampu mengenali kebutuhan masyarakat sebelum berubah menjadi bencana.

Lebih menyedihkan lagi, data menunjukkan bahwa mayoritas peserta pesta berasal dari luar Kabupaten Bogor—Jakarta, Depok, Bekasi. Ini memperkuat hipotesis bahwa sistem layanan kesehatan kita masih sangat bersifat teritorial, padahal ancaman kesehatan publik bersifat trans-lokal.

Dalam kerangka administrasi kesehatan, hal ini menunjukkan perlunya desain ulang sistem pelayanan kesehatan yang mampu merespons risiko berdasarkan mobilitas sosial dan geografis, bukan hanya berdasarkan batas administratif.

Literatur global telah menegaskan bahaya dari inter-district vulnerability, yaitu ketika risiko menyebar lebih cepat daripada kebijakan dapat menjangkaunya (Cassels et al., 2023).

Indonesia ternyata belum punya protokol yang cukup tanggap untuk menyatukan sumber daya kesehatan antarwilayah dalam menanggulangi fenomena migrasi risiko seperti yang terjadi di Puncak, Bogor.(Bersambung)

(WH/GN)

Add Comment