Willy Ingatkan RUU PPRT Bernilai Esensial Menegakkan Hak Asasi Manusia
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (22 Juli): Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, mendorong RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang kini berada di Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk segera dibahas. Bakal beleid itu penting agar pembantu rumah tangga (PRT) mempunyai payung hukum yang jelas dan tegas.
“Kenapa UU PPRT penting? Karena di dalam ketenagakerjaan kita, UU No. 13/2003 itu sangat diskriminatif. Pekerja, hanya mereka yang bergerak di sektor barang dan jasa, di luar itu tidak pernah diakui sebagai pekerja,” kata Willy di Jakarta, Senin (21/7/2025).
Menurutnya, upaya dalam pengesahan UU tersebut bernilai esensial mengingat hak PRT juga menjadi bagian dari hak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur dalam konstitusi.
“Itu sudah fundamental problem. Jadi sayang sekali mereka (PRT) cuma dilindungi oleh permenaker,” tuturnya.
Di sisi lain, Willy menilai, RUU PPRT masih sangat minimalis karena tidak memiliki cantolan hukum dalam UU Ketenagakerjaan. Padahal, secara sifat dan bentuk, RUU PPRT bersifat khusus, yang mana serupa dengan UU No 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Maka dari itu, ujar Willy, RUU PPRT harus terintegrasi secara hukum, bersifat lex specialis, memuat standar perlindungan komprehensif, dan harmonis dengan UU lain yang relevan. Tanpa itu, PRT tetap rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan, sekaligus tidak memiliki jalur hukum yang jelas untuk mencari keadilan.
“Di zaman sekarang ini, masih ada eksploitasi yang sangat unhuman, orang disuruh kerja. Ini kan, seperti fenomena gunung es, di mana ini dianggap urusan rumah tangga orang,” imbuh Willy.
Menurut mantan Wakil Ketua Baleg DPR itu, memang masih ada persoalan yang diperdebatkan terkait domain RUU PPRT. Sebagai contoh, perilaku eksploitasi terhadap tenaga kerja pekerja rumah tangga yang tidak dianggap sebagai urusan publik, namun malah dianggap urusan orang per orang atau rumah tangga per rumah tangga.
“Ini dibentengi oleh tingginya dan tebalnya urusan domestik, sehingga kita undang kawan-kawan dulu untuk duduk bersama agar undang-undang ini tidak dipukul rata,” terangnya.
RUU PPRT merupakan inisiatif DPR yang saat ini masih dibahas oleh Baleg DPR. Namun, pengesahan RUU itu dipastikan molor dari target. RUU itu sebetulnya sudah diusulkan ke DPR sejak 2004. Hanya saja, selama dua dasawarsa, nasib RUU PPRT terkatung-katung hingga pada periode lalu, Baleg menjadikan RUU itu sebagai inisiatif DPR.
DPR bahkan sudah mengirimkan draf RUU PPRT ke pemerintah untuk mendapat masukan berupa daftar inventarisasi masalah (DIM).
Sayangnya, hingga masa keanggotaan DPR periode lalu berakhir pada Oktober 2024, RUU PPRT masih jalan di tempat. Pimpinan DPR belum menunjuk alat kelengkapan dewan yang akan membahas RUU tersebut.
Selai itu, pada periode keanggotaan DPR 2024-2029, RUU PPRT kembali masuk Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025 atas usulan Baleg. Bak memperoleh restu alam, angin segar pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang pun mulai berhembus pada 1 Mei 2025 lewat pidato Presiden Prabowo Subianto saat perayaan Hari Buruh internasional.
Dalam pidatonya, Presiden Prabowo menyatakan keinginannya untuk mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU PPRT. Presiden bahkan menjanjikan bakal membereskan RUU PPRT dalam tiga bulan.
Jika komitmen tersebut betul-betul dipegang, maka seharusnya pengesahan UU PPRT akan dilaksanakan pada 1 Agustus 2025. Akan tetapi, Baleg DPR menyatakan bahwa pengesahan RUU PPRT kemungkinan molor dari target.
Oleh karena itu, Willy meminta komitmen pimpinan DPR dan Baleg DPR untuk segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT, sebagai dukungan terhadap janji Presiden Prabowo yang disampaikan di Hari Buruh.
“Kalau mendukung kan jangan lain di bibir lain di hati. Kita kan mengkonfirmasi orang sederhana aja, di tindakan. Seribu kata-kata tidak jadi apa-apa, tapi satu tindakan bisa mengubah apapun,” tegas legislator NasDem itu.
Adapun alasan Baleg DPR terkait molornya pengesahan RUU PPRT dari target lantaran tenggat waktu tiga bulan yang diberikan oleh Presiden tidak mengacu pada kalender hari kerja. Dalam keterangannya baru-baru ini, Baleg menjelaskan bahwa dewan memiliki masa reses yang membuat hitungan tiga bulan tidak sesuai masa kerja kalender pada umumnya.
Masa reses DPR digunakan bagi para legislator untuk kembali ke daerah pemilihan atau dapil masing-masing dan menyerap aspirasi masyarakat. DPR akan memasuki masa reses pada 25 Juli 2025 mendatang dan baru berakhir pada 15 Agustus 2025.
Selain itu, imbuh Willy, Baleg DPR menyatakan saat ini juga tengah membahas produk legislasi lainnya. Salah satunya RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang prosesnya masih sama dengan RUU PPRT, yakni mendengarkan aspirasi publik melalui rapat dengar pendapat umum.
Oleh karena itu, waktu penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan RUU PPRT kemungkinan melampaui target yang telah ditetapkan.
Terkait hal itu, Politikus Fraksi Partai NasDem itu berharap, Baleg DPR bisa bijaksana dalam proses pembahasan RUU PPRT agar UU yang memberikan keadilan bagi pekerja rumah tangga dapat segera terwujud.
“Jadi bagaimana proses yang harus kita bangun ini adalah jangan kita berat sebelah. Hidup ini kan harus balance, undang-undang yang pro rakyat mengurus orang banyak ini harus kita jadikan produk. Jangan hanya undang-undang yang lain,” tegas Willy.
“DPR kan rumah rakyat. Ini pertarungan politik. Memang konsekuensi logis dari DPR kan ada yang sepakat, ada yang enggak. Tapi setidak-tidaknya, kita bisa belajar bahwa periode 2024 adalah periode paling progresif dari UU PPRT,” pungkas Willy.
(Yudis/*)