Hindari Pengulangan Gagalnya KUD di Era Baru
Getting your Trinity Audio player ready...
|
Oleh Mohsen Hasan Alhinduan
Anggota Dewan Pakar DPP NasDem
PRESIDEN Prabowo Subianto secara simbolik meresmikan peluncuran 80.081 Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (KDMP/KKMP) di Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025).
Peluncuran ini tentu menandai langkah besar dan ambisius pemerintah dalam menata ulang fondasi ekonomi rakyat dari bawah. Namun, inisiatif ini memunculkan tanda tanya besar: apa jaminan KDMP tidak mengulangi nasib Koperasi Unit Desa (KUD) yang gagal total di masa lalu?
Dalam sejarah perekonomian Indonesia, KUD pernah menjelma menjadi simbol ekonomi kerakyatan yang justru menjauh dari rakyat. Koperasi disusupi agenda birokrasi, digunakan sebagai alat kontrol politik, dan akhirnya tumbang dalam badai ketidakpercayaan serta korupsi pengelolaan. Kini, ketika pemerintah kembali meluncurkan koperasi dalam skala masif tanpa landasan reformasi yang jelas, publik berhak kritis.
Realitas UMKM: Luka Lama Belum Sembuh
Hingga kini, sektor UMKM masih dibebani oleh masalah klasik yaitu keterbatasan akses permodalan, dominasi tengkulak, minimnya transformasi digital, dan lemahnya rantai pasok. Alih-alih memperkuat koperasi eksisting atau menyelesaikan tantangan sistemik UMKM, pemerintah malah menambah beban kelembagaan baru dengan jumlah fantastis. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana letak urgensi dan desain keberlanjutan KDMP?
Tanpa kerangka kerja yang terukur dan integrasi dengan sistem ekonomi nasional, KDMP hanya akan menjadi “koperasi papan nama”. Belum lagi risiko koperasi fiktif, penyelewengan dana, hingga dominasi elite desa yang selama ini menjadi penghambat koperasi rakyat berkembang.
*Nasionalisme Tidak Cukup, Perlu Profesionalisme*
Penggunaan nama “Merah Putih” memang menggugah semangat kebangsaan, namun tidak cukup menjadi fondasi ekonomi. Koperasi tidak bisa dikelola dengan jargon semata. Dibutuhkan:
• Kepemimpinan profesional koperasi, bukan hanya tokoh lokal titipan politik.
• Digitalisasi sistem akuntansi dan manajemen koperasi, agar transparan dan efisien.
• Hubungan erat dengan perbankan dan BUMN, agar koperasi tidak terisolasi dari ekosistem ekonomi nasional.
• Audit independen dan evaluasi berkala, agar KDMP tidak menjadi proyek politik yang gagal.
Tanpa itu semua, KDMP bukanlah jalan keluar, melainkan jalan pintas menuju kegagalan baru.
*Solusi yang Lebih Strategis*
Daripada membentuk koperasi baru dalam jumlah besar, lebih tepat jika pemerintah:
• Mereformasi koperasi lama yang masih hidup namun terseok-seok.
• Meningkatkan kapasitas SDM koperasi dan UMKM, melalui pelatihan berbasis kebutuhan zaman.
• Mendorong digitalisasi koperasi, agar tidak tertinggal dari startup dan marketplace.
• Menempatkan koperasi dalam ekosistem industri nasional, bukan hanya sebagai pelengkap administratif.
Koperasi harus menjadi kendaraan pemberdayaan rakyat, bukan sekadar alat seremoni yang penuh euforia sesaat.
*Evaluasi Diperlukan, Bukan Euforia*
KDMP bisa menjadi tonggak penting dalam sejarah ekonomi rakyat—jika dan hanya jika dibarengi dengan pembenahan fundamental, pengawasan serius, dan pengelolaan yang profesional. Tanpa itu, kita hanya mengulang babak lama: koperasi sebagai proyek politik musiman yang usang sebelum matang.
Kita tidak butuh koperasi baru, tapu kita butuh koperasi yang benar, dan membangun yang benar membutuhkan waktu, bukan hanya seremoni dan jumlah.
(WH/GN)