Revisi UU Sistem Perbukuan merupakan Panggilan Sejarah Mencerdaskan Bangsa

Getting your Trinity Audio player ready...

JAKARTA (29 Juli): Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 memberikan penegasan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan bernegara. Upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui beragam kebijakan pendidikan. Walau sudah cukup lengkap kebijakan berkenaan dengan pendidikan, namun masih ada hal esensial yang dirasa belum cukup berkenaan dengan literasi.

Sejalan dengan hal tersebut, anggota DPR RI, Willy Aditya, yang juga Ketua Komisi XIII DPR mengusulkan perubahan Undang-Undang Sistem Perbukuan. Sejak periode 2019-2024, dia mengaku sudah mengusulkan revisi UU tersebut karena melihat situasi makin mahalnya harga buku yang dan rendahnya minat baca masyarakat.

“Instrumen untuk mencerdaskan bangsa itu adalah pengetahuan, dan gerbang utamanya adalah literasi, membaca. Ini bukan sekadar merubah UU Sistem Perbukuan. Ini meluruskan tujuan bernegara, mencerdaskan kehidupan bangsa,” tegasnya.

Willy mengungkapkan kecemasannya dengan terus beruntuhannya penerbit, toko buku, dan ruang-ruang diskusi buku yang dahulu pernah berkiprah dalam melahirkan pemikir-pemikir bangsa. Di Padang Panjang, ada banyak penerbit yang dulu menjadi mainstream penerbit pemikiran Islam, demikian juga di Yogya, dan banyak wilayah lainnya, kini hampir semua bubar.

“Kita tidak bisa terus diam melihat mereka ini bubar. UU Sistem Perbukuan yang lama tidak cukup memberi penegasan kewajiban negara kepada penerbit-penerbit. Ini menjadi cermin bagaimana negeri ini memuliakan pengetahuan,” katanya.

Dalam pandangannya, revisi UU Sistem Perbukuan harus menyentuh persoalan mendasar tentang peningkatan literasi yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Menurutnya, fokus lama yang hanya menjadikan perbukuan nasional sebagai pasar penyedia buku sekolah sudah harus diubah.

“Litrasi ini bukan hanya praktik skolastik. Tidak cukup hanya buku-buku di lembaga pendidikan yang menjadi perhatian pemerintah. Ada banyak penulis bagus yang akhirnya kalah dengan pembuat diktat sekolah. Ada banyak buku dari luar negeri yang sangat layak menjadi sumber pengetahuan. Belum lagi produk penulisan kita yang tidak difasilitasi sebagai ‘diplomat budaya’. Hal-hal seperti ini yang harus kita masukan dalam revisi ke depan,” ungkapnya.

Politikus Partai NasDem itu menekankan revisi UU Sistem Perbukuan merupakan panggilan sejarah. Disrupsi teknologi yang terus merangsek masuk dan makin menggoyahkan minat baca menurutnya, perlu dihadapi dengan gerak nyata.

“Kita siapkan perubahan UU Sistem Perbukuan ini dalam sprit memajukan literasi. Perbaikan obligasi negara untuk mencerdaskan bangsa lewat buku, itu satu hal. Ada gerakan literasi yang diinisiasi secara struktural, ini juga hal penting. Ini semua perlu mendapat ruang fasilitasi dan pelindungan oleh negara,” tegasnya. (*)

Add Comment