Komitmen Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Harus Diwujudkan secara Konsisten

Getting your Trinity Audio player ready...

JAKARTA (30 Juli): Komitmen pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan harus konsisten diwujudkan untuk menjawab sejumlah ancaman dampak pemanasan global.

“Krisis iklim kini jadi salah satu masalah global yang tidak bisa dikesampingkan. Indonesia harus menghadapi isu lingkungan ini dengan sungguh-sungguh,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Menakar Kesiapan NDC (Nationally Determined Contribution) Indonesia Menuju Conference of the Parties (COP) 30 di Brasil yang digelar Forum Diskusi Denpasar (FDD)12 di Jakarta, Rabu (30/7).

Diskusi yang dimoderatori Arimbi Heroepoerti, S.H., L.LM. (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Dr. H. Syarif Fasha, M.E. (Anggota Komisi XII DPR RI), Ir. Ary Sudijanto, M.S.E (Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup), Andrew Arristianto (Wakil Ketua Bidang Angkutan Umum, Organisasi Angkutan Darat (Organda), dan Adam Kurniawan
(Kepala Divisi Manajer Pelibatan Publik WALHI), sebagai narasumber.

Selain itu, hadir pula Indrastuti (Warwatan Media Indonesia Bidang Lingkungan Hidup) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, bagaimana cara kita mencapai target-target pelestarian lingkungan yang telah disepakati sejumlah negara di dunia, merupakan tantangan tersendiri.

Apalagi, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, di satu sisi kerusakan lingkungan di Indonesia terus terjadi.

Padahal, tambah Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II (Kudus, Demak, Jepara) itu, Konstitusi UUD 1945 memberikan dasar pemikiran penting tentang pelestarian lingkungan hidup.

Pasal 28H ayat 1 dan Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 misalnya, jelas Rerie, memberikan landasan konstitusional untuk perlindungan lingkungan dan hak atas lingkungan yang baik dan sehat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu mendorong upaya pemenuhan target kontribusi iklim nasional yang telah disepakati bersama sejumlah negara, termasuk Indonesia, dapat direalisasikan dengan keterlibatan aktif semua pihak yang terkait.

Syarif Fasha mengungkapkan, sejumlah langkah untuk menekan dampak krisis iklim, banyak yang tidak bisa berjalan karena terkendala sejumlah hal teknis.

Di Jambi misalnya, tambah Syarif, memiliki tiga hutan lindung dan satu hutan konservasi. Namun, tegas dia, pihak pemerintah daerahnya tidak mendapat apa-apa. “Jambi salah satu paru-paru dunia lho,” ujarnya.

Menurut Syarif, pemanfaatan energi adalah satu faktor utama penyumbang emisi gas rumah kaca. Sehingga, tegas dia, optimalisasi pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) menjadi kunci dari pencapaian target kontribusi iklim nasional (NDC) Indonesia.

Syarif berharap, setiap pimpinan berganti tidak diikuti dengan pergantian kebijakan terkait lingkungan. “Kita harus segera mulai pemanfaatan EBT,” ujar Syarif.

Ary Sudijanto mengungkapkan, Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris dalam ikut menyikapi perubahan iklim.

Menurut Ary, Protokol Kyoto hanya mewajibkan sejumlah negara anggota untuk mengurangi emisi, tetapi pada Perjanjian Paris mewajibkan semua negara anggota, termasuk Indonesia, harus memiliki rencana dan upaya pengurangan emisi.

Upaya pengurangan emisi, ujar Ary, mencakup lima sektor seperti energi, limbah, IPPU (Industrial Processes and Product Use), pertanian, dan kehutanan.

Diakui Ary, sebagai bagian dari negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, submission NDC Indonesia sangat ditunggu untuk mendorong negara-negara anggota lainnya dapat mensubmit NDC-nya masing-masing.

Menurut Ary, submission NDC Indonesia dinilai lebih rinci dan lebih maju daripada negara-negara anggota lainnya yang meratifikasi Perjanjian Paris.

Ary sangat berharap masukan dari sejumlah pihak terkait upaya pengurangan emisi di sejumlah sektor sebagai bahan untuk dibawa pada ajang COP 30 di Brasil, November mendatang.

Andrew Arristianto berpendapat, transportasi dapat berjalan dengan meminimalkan efek negatif terhadap lingkungan.

Menurut Andrew, upaya pengurangan emisi bisa dilakukan antara lain dengan penggunaan transportasi umum dalam keseharian.

Meski begitu, tambah dia, di sejumlah daerah ketersediaan angkutan umum masih terbatas, sehingga masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.

Menurut Andrew, perlu didorong pembukaan rute-rute baru dan peningkatan jumlah transportasi umum, baik dalam bentuk bus atau kereta.

Selain itu, tegas dia, perlu juga ditetapkan standar operasional prosedur (SOP) dan peningkatan kualitas transportasi umum, serta transisi energi di sejumlah daerah, sehingga pengurangan emisi dapat berkelanjutan.

Adam Kurniawan berpendapat, kebijakan pengurangan emisi gas rumah kaca itu sangat terkait dengan sumber-sumber kehidupan masyarakat.

Jangan sampai, tegas Adam, upaya menekan emisi gas rumah kaca dilakukan dengan cara yang menghambat masyarakat mengakses sumber kehidupan.

Mengutip data Bank Dunia pada 2023, Adam mengungkapkan, emisi gas rumah kaca meningkat 16 kali lipat dari setengah abad yang lalu.

Sementara itu, pada 2024 Kementerian ESDM mencatat 85% pembangkit tenaga listrik di Indonesia menggunakan bahan bakar fosil.

Adam berpendapat, pemerintah kerap mengedepankan solusi palsu dalam upaya menekan emisi gas rumah kaca, seperti kebijakan pemanfaatan biofuel dengan perluasan lahan kebun sawit yang mengorbankan areal hutan.

Menurut Adam, pelaporan NDC bukan hanya sekadar angka pencapaian, tetapi lebih penting dari hal itu mengedepankan aspek keadilan lingkungan bagi masyarakat luas.

Indrastuti berpendapat, pelibatan pemerintah daerah dalam penurunan emisi atau pencapaian NDC sangat penting.

Langkah itu, tambah dia, perlu dibarengi dengan insentif untuk pemerintah daerah.

Diakui Indrastuti, ada sejumlah pemerintah daerah yang bisa mengelola sampah secara berkelanjutan. Namun, di sisi lain masih banyak pemerintah daerah yang abai terhadap pengelolaan sampah berkelanjutan.

Terkait pengurangan emisi dari sektor transportasi, Indrastuti berpendapat, perlu dibangun interkoneksi transportasi umum antara Jakarta dan daerah-daerah sekitarnya.

Sementara itu, ungkap Indrastuti, pemanfaatan kendaraan listrik baru ramai di kota-kota besar, tetapi sepi di daerah-daerah.

Menurut dia, keterbatasan sarana pendukung dan mindset masyarakat terkait sulitnya memanfaatkan kendaraan listrik masih menjadi kendala.

Indrastuti menegaskan, pengurangan emisi dan perubahan iklim bukan hanya persoalan dan tugas Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi juga masyarakat untuk mengatasinya.

Wartawan senior, Saur Hutabarat berpendapat, kesadaran kolektif mengenai pemanasan global belum sama. Banyak orang yang menilai kenaikan suhu 1 derajat Celcius itu merupakan hal biasa.

Demikian juga ketika permukaan air laut naik sampai 120 meter itu dianggap biasa.

Menurut Saur, kesadaran masyarakat terkait dampak pemanasan global itu harus diperluas. Termasuk juga kesadaran dari pengambil kebijakan.

“Jangan-jangan para pengambil kebijakan itu juga mengira kenaikan suhu udara 1 derajat Celcius itu belum apa-apa. Padahal, kenaikan suhu 1 derajat itu tidaklah bisa diterima oleh para pakar,” ujarnya.

Selain itu, tegas Saur, harus ada kebijakan yang konsisten dan penuh komitmen terkait pemanfaatan EBT. Sejatinya, tambah dia, saat ini pemanfaatan EBT itu bukanlah pilihan, tetapi sebuah keniscayaan.

“Apakah kita serius memanfaatkan EBT ini. Saya khawatir kebijakan penggunaan EBT ini tidak konsisten,” kata Saur.

Pada masa lalu, ujar dia, ada kebijakan yang mewajibkan taksi menggunakan bahan bakar gas dan saat ini menghilang begitu saja. (*)

Add Comment