Rajiv Minta Badan Pangan Kaji Ulang Regulasi Mutu dan HET Beras
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (30 Juli): Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, meminta Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengkaji ulang regulasi mutu dan skema harga eceran tertinggi (HET) beras. Kajian ulang itu dapat menjadi momen untuk menata ekosistem pangan di Tanah Air.
“Ini bukan hanya soal beras, ini soal kepercayaan publik terhadap label, harga, dan apa yang mereka konsumsi. Konsumen berhak tahu dan harus mendapatkan produk sesuai dengan label yang tertera. Kaji ulang HET adalah momentum menata ulang ekosistem pangan kita secara menyeluruh,” kata Rajiv dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025).
Dorongan tersebut muncul setelah adanya temuan ketidaksesuaian mutu, harga, dan berat beras kemasan di pasar, yang dinilai berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99 triliun. Temuan Kementerian Pertanian menguraikan, berdasarkan hasil uji terhadap 268 sampel beras dari 13 laboratorium independen, dengan 212 merek tidak memenuhi ketentuan label, mutu, dan harga.
Rajiv menilai fakta tersebut menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi pangan. Khususnya terkait mutu beras premium dan medium yang seharusnya diatur secara ketat sesuai dengan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2/2023.
“Kita butuh sistem pengawasan mutu yang efektif dari hulu ke hilir, termasuk di level distribusi dan ritel. Pelabelan tidak boleh asal tempel. Bila disebut ‘premium’, maka barang benar-benar harus premium sesuai standar nasional,” kata Rajiv.
Legislator Partai NasDem itu mengatakan, kebijakan HET tidak bisa dilihat hanya sebagai batas harga saja, tapi harus dipahami juga sebagai alat kendali yang mencerminkan realitas sosial, struktur ongkos produksi, dan integritas sistem distribusi pangan nasional.
“Dalam proses kajiannya, Badan Pangan Nasional diharapkan bisa melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk asosiasi petani, pelaku industri, dan organisasi perlindungan konsumen,” ujarnya.
Ia menilai langkah penyesuaian HET bukan sekadar perbaikan kebijakan, tapi momen membangun kepercayaan publik terhadap pasar beras. Menurutnya, masyarakat sudah semakin kritis sehingga negara harus menjamin dan memastikan bahwa tidak ada lagi celah bagi para oknum untuk memanipulasi mutu, label dan harga.
“Kita sedang bicara tentang pangan. Ini bukan komoditas biasa. Ini menyangkut rasa keadilan publik. Kalau rakyat merasa dibohongi, baik karena harga yang tak sesuai mutu, atau subsidi yang bocor, maka yang rusak bukan hanya pasar, tapi legitimasi sistem,” tegasnya.
Rajiv mengusulkan agar Badan Pangan Nasional, Kementerian Pertanian, Bulog dan Kementerian Perdagangan agar melakukan audit harga dan ongkos produksi real-time di lima zona wilayah produksi utama, serta membentuk forum multi-pihak yang melibatkan petani, penggilingan, pengusaha ritel, dan konsumen sebagai bentuk transparansi kebijakan.
Di sisi lain, Rajiv mengimbau masyarakat dan regulator tidak mencampuradukkan praktik pencampuran varietas dalam industri beras sesuai standar mutu, dengan pengoplosan ilegal yang melibatkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).
Menurutnya, mencampur untuk preferensi tertentu memang diperlukan. Dalam industri perberasan, pencampuran varietas tertentu merupakan praktik umum dilakukan sesuai standar mutu dan ketentuan yang berlaku.
“SPHP merupakan subsidi dari negara yang menjadi bagian dari intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas perberasan di masyarakat. Mencampur beras SPHP adalah pelanggaran hukum, karena menyangkut keuangan negara dan hak publik,” pungkas Rajiv.
(Yudis/*)