Kaji Ulang Regulasi Mutu dan HET Beras guna Menata Ekosistem Pangan secara Menyeluruh
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (31 Juli): Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, mendorong pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) segera melakukan kaji ulang terhadap regulasi mutu dan skema harga eceran tertinggi (HET) perberasan.
Langkah itu perlu dilakukan setelah adanya temuan ketidaksesuaian mutu, harga, dan berat beras kemasan di pasar, yang berpotensi merugikan konsumen hingga Rp99 triliun.
Temuan Kementerian Pertanian itu berdasarkan hasil uji terhadap 268 sampel beras dari 13 laboratorium independen, dengan 212 merek yang tidak memenuhi ketentuan label, mutu, dan harga.
Rajiv menilai, fakta tersebut menunjukkan adanya celah serius dalam sistem pengawasan dan kepatuhan terhadap regulasi pangan, terutama terkait mutu beras premium dan medium yang seharusnya diatur secara ketat sesuai dengan Peraturan Bapanas Nomor 2 Tahun 2023.
Lebih lanjut ia menekankan, konsumen harus mendapat beras sepadan dengan yang dibayarkan, sehingga mengkaji ulang HET adalah momentum menata ulang ekosistem pangan kita secara menyeluruh..
“Ini bukan hanya soal beras, ini soal kepercayaan publik terhadap label, harga, dan apa yang mereka konsumsi. Konsumen berhak tahu dan harus mendapatkan produk sesuai dengan label yang tertera. Kaji ulang HET adalah momentum menata ulang ekosistem pangan kita secara menyeluruh. Kita butuh sistem pengawasan mutu yang efektif dari hulu ke hilir, termasuk di level distribusi dan ritel. Pelabelan tidak boleh asal tempel. Bila disebut ‘premium’, maka barang benar-benar harus premium sesuai standar nasional,” kata Rajiv melalui keterangannya, Rabu (30/7/2025).
Menurut Rajiv, kebijakan HET tidak bisa dilihat hanya sebagai batas harga saja, tapi harus dipahami juga sebagai alat kendali yang mencerminkan realitas sosial, struktur ongkos produksi, dan integritas sistem distribusi pangan nasional.
Makanya, pemerintah diminta melibatkan para stakeholder terkait dalam proses mengkaji ulang regulasi tersebut.
“Dalam proses kajiannya, Bapanas diharapkan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk asosiasi petani, pelaku industri, dan organisasi perlindungan konsumen,” ujar anggota Fraksi Partai NasDem itu.
Rajiv menilai langkah penyesuaian HET bukan sekadar perbaikan kebijakan, tapi momen membangun kepercayaan publik terhadap pasar beras. Pasalnya, masyarakat saat ini sudah semakin kritis, sehingga negara harus menjamin dan memastikan bahwa tidak ada lagi celah bagi para oknum untuk memanipulasi mutu, label, dan harga.
“Kita sedang bicara tentang pangan. Ini bukan komoditas biasa. Ini menyangkut rasa keadilan publik. Kalau rakyat merasa dibohongi, baik karena harga yang tak sesuai mutu, atau subsidi yang bocor, maka yang rusak bukan hanya pasar, tapi legitimasi sistem,” tegas legislator dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat II itu.
Oleh karenanya, Rajiv mengusulkan kepada pemerintah dalam hal ini Bapanas, Kementerian Pertanian, Bulog, dan Kementerian Perdagangan agar melakukan audit harga dan ongkos produksi real time di lima zona wilayah produksi utama, serta membentuk forum multi pihak yang melibatkan petani, penggilingan, pengusaha ritel, dan konsumen sebagai bentuk transparansi kebijakan.
“Saya tidak ingin kebijakan pangan ini hanya jadi angka di meja rapat kementerian, tapi harus turun ke lapangan mendengar suara para petani, pelaku UMKM penggilingan, dan koperasi pangan desa. Kita harus pastikan membela mereka. Jadi, kalau HET disusun tanpa mendengar dari mereka, hasilnya bisa tidak membumi,” imbuhnya.
Di samping itu, Rajiv mengimbau masyarakat dan regulator tidak mencampuradukkan antara praktik pencampuran varietas dalam industri beras sesuai standar mutu, dengan pengoplosan ilegal yang melibatkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan).
Menurut dia, mencampur untuk preferensi tertentu memang diperlukan. Dalam industri perberasan, pencampuran varietas tertentu merupakan praktik umum dilakukan sesuai standar mutu dan ketentuan yang berlaku.
“Praktik campur yang tidak diperbolehkan dan mengandung delik pidana adalah jika menggunakan beras SPHP. Hal ini karena Beras SPHP merupakan subsidi dari negara yang menjadi bagian dari intervensi pemerintah untuk menjaga stabilitas perberasan di masyarakat. Mencampur beras SPHP adalah pelanggaran hukum, karena menyangkut keuangan negara dan hak publik,” tegasnya.
(Kabul/*)