Pelabelan Berisiko Kanker atas Produk Indonesia merupakan Diskriminasi Serius

JAKARTA (4 Agustus): Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, menilai pelabelan berisiko kanker terhadap produk bumbu asal Indonesia di Amerika Serikat (AS) merupakan bentuk diskriminasi pangan yang serius. Pemerintah Indonesia tidak boleh tinggal diam dan segera mengambil langkah diplomatik melalui nota protes resmi.

“Ini bukan perkara sepele. Ini adalah pukulan telak terhadap wajah ekspor pangan kita. Bahkan bisa menciptakan krisis kepercayaan global terhadap produk UMKM Indonesia,” ujar Nurhadi, Jumat (1/8/2025).

Labelisasi yang dimaksud mengacu pada California Proposition 65 Warning yang ditemukan pada kemasan bumbu instan asal Indonesia di sebuah pasar di California. Video yang merekam hal tersebut menjadi viral di media sosial karena hanya produk asal Indonesia yang diberi label peringatan, sedangkan merek lain tidak.

Nurhadi menilai perlakuan itu mencoreng reputasi warisan kuliner Nusantara yang selama ini diakui dunia karena manfaatnya dalam kesehatan dan pengobatan tradisional.

“Labelisasi sepihak yang mencoreng reputasi rempah dan bumbu Nusantara adalah bentuk diskriminasi pangan! Padahal, selama ratusan tahun, bumbu-bumbu ini menjadi warisan kuliner dan obat alami yang telah melewati waktu dan peradaban,” tegasnya.

Legislator Partai NasDem itu pun mempertanyakan standar ilmiah yang digunakan otoritas AS.

“Jika Amerika menyebut itu berbahaya, maka dunia perlu bertanya, di mana posisi keilmuan dan keadilan dagang mereka?” imbuh Nurhadi.

Nurhadi meminta BPOM tidak hanya bersikap normatif dan mendorong koordinasi lintas kementerian termasuk Kemenlu, Kemenkes, dan Kemendag untuk mengirim nota protes resmi kepada otoritas AS dan membuka kemungkinan audit standar bersama.

“Tidak cukup hanya bilang ‘akan dikaji’ atau ‘menyesuaikan’. BPOM harus bertindak ofensif, melibatkan Kemenlu, Kementerian Perdagangan, dan Kemenkes untuk mengirim nota protes resmi, sekaligus membuka ruang audit independen bersama jika memang ada perbedaan standar pengujian,” tegasnya.

Jika pemerintah membiarkan hal itu berlalu tanpa pembelaan berbasis data ilmiah, produk khas lain dari Indonesia pun bisa menjadi korban labelisasi sepihak.

“Kita tidak boleh diam. Ini bukan hanya soal produk, tapi soal martabat bangsa. Kalau label seperti ini dibiarkan tanpa pembelaan yang bermartabat dan berbasis data ilmiah, maka giliran tempe, sambal, bahkan jahe kita pun bisa diberi cap sesat oleh negara lain,” pungkasnya. (dpr.go.id/*)

Add Comment