Sebanyak 90,3% Daerah di Indonesia Bergantung pada Dana Transfer Pusat
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (22 Agustus): Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menekankan kemandirian fiskal daerah dan desain demokrasi elektoral pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemisahan pemilu.
Ia menguraikan data bahwa 90,3% daerah di Indonesia, atau 493 dari 546 daerah, masih bergantung pada transfer pusat dengan kategori kapasitas fiskal lemah. Hanya 26 daerah (4,76%) yang mampu berdiri di atas kaki sendiri, di mana Pendapatan Asli Daerah (PAD)-nya lebih besar dari dana transfer.
“Kondisi ini menjadi tantangan serius dalam optimalisasi BUMD, BLUD, dan pengelolaan aset daerah. Ruang fiskal untuk berinvestasi dan berinovasi sangat terbatas,” ujar Rifqi, sapaan Rifqinizamy, dalam diskusi hibrid dengan Dewan Pengurus Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Kantor Apkasi Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Rifqi menjelaskan konsep ‘Kabupaten Merdeka Fiskal’ yang diusung bukan berarti memutus hubungan dengan pusat, melainkan membangun fondasi pendapatan yang kokoh, sehingga transfer pusat berfungsi sebagai stimulan, bukan napas utama.
“Strateginya meliputi diversifikasi PAD, reformasi total BUMD, optimalisasi aset daerah, dan pemanfaatan transfer yang lebih efektif. Salah satu langkah konkret yang sedang digarap Komisi II adalah RUU Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),” ujar Rifqi.
Komisi II bersama Kemendagri merancang UU BUMD untuk mendesain menciptakan tata kelola korporasi modern, memisahkan penugasan layanan publik dari bisnis komersial, seleksi direksi yang profesional dan bebas intervensi politik, serta pengawasan yang ketat.
“Harus ada pemisahkan yang jelas mana yang tugas sosial (public service obligation/PSO) dan mana yang bisnis. Dan khusus PSO, harus ada kompensasi yang jelas agar tidak terjadi subsidi silang yang membebani BUMD,” urai Rifqi.
Terkait isu implikasi Putusan MK Nomor 135/PUU–XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional (Pilpres, Pileg DPR, DPD) dengan Pemilu Lokal (Pilkada dan Pileg DPRD), Rifqi menyatakan putusan itu ibarat ‘gempa konstitusional’ yang merobek desain pemilu serentak yang telah dibangun.
Ia menyoroti tiga masalah utama yaitu pertama soal tumpang tindih norma, di mana, pemisahan waktu hingga 2,5 tahun dinilai bertentangan dengan roh Pasal 22E UUD 1945 yang mengamanatkan pemilu lima tahunan dan serentak.
“Kedua ada krisis masa jabatan, di mana, pemilu lokal berpotensi membuat masa jabatan kepala daerah dan DPRD harus diperpanjang hingga 2031, sebuah langkah tanpa dasar hukum yang jelas dan melanggar prinsip periodisasi,” lajutnya.
Hal ketiga, ada kecenderungan pergeseran fungsi MK, di mana MK dinilai telah melampaui kewenangannya sebagai negative legislature (penguji UU) dan beralih menjadi positive legislature (pembentuk norma baru), yang sejatinya adalah kewenangan DPR dan pemerintah.
“Ini adalah problematik kenegaraan yang serius. Posisi DPR sebagai pembentuk UU seolah dipotong. Jalan keluar yang bisa diusulkan, di antaranya kodifikasi besar-besaran menuju Pemilu 2029,” ujarnya.
Meski mengakui usulan solusi itu terbilang ambisius, namun ia menilai perlu mengkodifikasi seluruh undang-undang terkait pemilu dan politik ke dalam satu payung hukum tunggal, mungkin melalui metode omnibus law.
“RUU kodifikasi ini akan mengintegrasikan setidaknya enam UU, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU Partai Politik, UU Pemerintahan Daerah, UU MD3, serta hukum acara penyelesaian sengketa pemlu,” urainya.
“Tujuannya adalah menciptakan kepastian hukum, menyederhanakan regulasi yang tumpang-tindih, menghemat anggara, dan yang terpenting, menyiapkan desain Pemilu 2029 yang terintegrasi dan sistemik,” sambung Rifqi.
Legislator Partai NasDem itu menegaskan, pimpinan DPR dan seluruh fraksi akan terus bersinergi mencari jalan keluar terbaik.
“Kita harus mencari titik tengah. Yang utama adalah menjunjung tinggi konstitusi sebagai hukum tertinggi, sambil tetap berusaha menghormati putusan MK,” pungkas Rifqi. (Yudis/*)