Tidak Sekadar Hafalan, Pancasila Harus Jadi Nilai yang Hidup di Masyarakat
Getting your Trinity Audio player ready...
|
JAKARTA (28 Agustus): Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menegasakan bahwa Pancasila harus ditempatkan sebagai nilai yang hidup dalam keseharian masyarakat atau laku sosial (social life), bukan sekadar hafalan formal.
“Dalam pidato 1 Juni, Bung Karno mengatakan, ‘Saya ini bukan penemu Pancasila’. Beliau menegaskan hanya menyarikan nilai-nilai Pancasila yang sesungguhnya sudah ada dan hidup di tengah-tengah kita setiap hari,” kata Willy dalam bedah buku karyanya berjudul ‘Pancasila di Rumahku’ di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Menurut Willy, pendekatan Bung Karno tersebut bersifat metodologis dan induktif, yang berarti Pancasila digali dari bawah, langsung dari kehidupan sosial masyarakat.
Hal itu berbeda dengan cara pada masa Orde Baru melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) ketika Pancasila diajarkan dari atas ke bawah dan lebih menekankan hafalan.
“Selama ini kita sering terjebak meletakkan Pancasila sebagai cita-cita yang saleh di atas, seperti surga,” kata Willy mengutip pandangan filsuf perempuan Indonesia Karlina Supelli.
Ia mencontohkan Pancasila sebagai sebuah laku sosial, seperti yang tercermin dalam tradisi Pela Gandong di Maluku, di mana masyarakat muslim dan kristen saling membantu membangun tempat ibadah masing-masing sebagai bukti nyata bahwa nilai toleransi sudah berakar di masyarakat.
“Pancasila ada di tengah kita every day, every time, every moment. Bung Karno meletakkan Pancasila itu sebagai way of thinking, way of life,” urai Willy.
Willy lantas mengajak semua pihak, terutama para pendidik, untuk tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai mitos atau hafalan semata, serta membumikan Pancasila menjadi tanggung jawab kolektif bangsa.
Legislator Partai NasDem itu menegaskan Pancasila harus menjadi working value yang tercermin dalam tindakan sederhana seperti saling tersenyum, menghormati perbedaan, dan bergotong royong.
“Kita harus keluar dari perspektif guru mengajarkan, murid menghafalkan,” tegas Willy. (Yudis/*)