Royalti: Keadilan dan Penghargaan atas Kebudayaan

Getting your Trinity Audio player ready...

Oleh Willy Aditya

Ketua Komisi XIII DPR RI

 

MEI 2024, Ari Bias, seorang komposer, produser, sekaligus penulis lagu asal Sumatera Utara, mengirim somasi kepada Agnez Mo dan penyelenggara acara (HW Group) karena membawakan lagu Bilang Saja tanpa izin pada konser di tiga kota. Somasi ini disusul dengan melaporkan Agnez Mo ke Bareskrim Polri terkait dugaan pelanggaran hak cipta pada Juni 2024. Hingga pada September 2024, Ari secara resmi mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Pada 30 Januari 2025 pengadilan menyatakan Agnez Mo terbukti melakukan pelanggaran hak cipta. Agnes lalu mengajukan kasasi ke MA, yang dikabulkan. Dengan adanya putusan kasasi, vonis pengadilan tingkat pertama menjadi batal.

Di tahun sebelumnya, perselisihan juga terjadi antara Ahmad Dhani dengan Once Mekel. Dhani melarang Once menyanyikan lagu-lagu tersebut di luar konser Dewa 19. Bagi Once izin cukup dengan mengurus royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Perseteruan ini berujung pada pertemuan di Kemenkumham hingga akhirnya Once berjanji untuk tidak membawakan lagu-lagu Dewa 19 lagi.

Setelah itu, muncul “perseteruan” antara Ari Lasso dengan Wahana Musik Indonesia (WAMI). Ari mempertanyakan pengelolaan royalti yang dilakukan oleh WAMI yang menurutnya tidak transparan dan kurang akuntabel. Baginya, kenyataan ini bisa merugikan para musisi dan juga negara karena ada pajak di dalamnya. Melihat kenyataan tersebut, mantan vokalis band Dewa 19 ini pun kemudian membebaskan lagu-lagunya untuk dimainkan.

Secara kelembagaan, muncul dua kelompok musisi dengan interest yang berbeda. Ada Asosiasi Komposer Indonesia (Aksi) yang dipimpin oleh Piyu (Padi Reborn) dan Vibrasi Suara Indonesia (Visi) dipimpin oleh Armand Maulana (Gigi). Aksi memiliki perhatian lebih pada kesejahteraan penulis/pencipta lagi. Sementara Visi memandang bahwa ada yang perlu diperbaiki dari UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Kasus-kasus di atas bisa disebut sebagai pionir dari polemik mengenai royalti yang kini tengah bergulir di DPR. Karena setelah itu, kasusnya bergulir seperti bola salju. Di Bali, Lembaga Manajemen Kolektif Sentra Lisensi Musik Indonesia (LMK Selmi) dan PT Mitra Bali Sukses (MBS) sebagai pengelola gerai Mie Gacoan di Bali dan Luar Jawa berseteru. LMK Selmi melaporkan MBS ke Polda Bali karena dinilai tidak membayar royalti atas lagu-lagu yang diputar di ratusan gerai restoran mie itu. Untungnya sengketa berakhir dengan damai dengan dicabutnya laporan.

Setelah kasus tersebut, polemik soal royalti terus bergulir hingga membuat pengelola restoran, kafe dan tempat hiburan ketar-ketir. Pasalnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menyatakan bahwa semua bentuk pemutaran musik untuk kepentingan komersial harus membayar royalti.

Namun belakangan beberapa pencipta lagu menggratiskan lagu karya mereka untuk diputar di tempat umum seperti kafe dan restoran. Beberapa musisi yang mengambil jalan ini antara lain Rhoma Irama, Ariel Noah, Charly ST 12, Rian D’Massive, dan Kunto Aji.

Masalah royalti ternyata sampai ke sektor lainnya. Di media sosial ada unggahan dari akun @ekopriianto pada Minggu (17/8/2025). Ia membagikan foto pengumuman resmi dari PO Eka Mira di Sidoarjo yang melarang kru bus memutar musik, khususnya lagu Indonesia. Perusahaan otobus Sumber Alam yang melayani rute AKAP (Antar Kota Antar Provinsi) dan AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi) juga mengumumkan hal serupa lewat akun Instagram resminya @sumberalam.id.

Tidak berhenti di situ, saat satu waktu penulis menyempatkan mampir di rest area Ciracas (menuju arah Cibubur) sebuah kenyataan yang menyentak hati terjadi. Suasananya hening! Tidak ada suara musik dan lagu di rest area tersebut. Yang ada hanya deru mesin dan suara percakapan dan lalu lalang pengunjung. Gara-gara polemik royalti, rest area menjadi seperti kuburan. Mereka takut untuk memutar musik dan lagu. Musik seolah telah menjadi barang haram bahkan tanpa fatwa haram dari lembaga keagamaan.

Peta masalah

Merespon polemik yang terjadi, DPR pun mencoba tanggap. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad meminta komisi terkait untuk menyikapinya dengan cepat. Rabu, 27 Agustus 2025, Komisi XIII DPR mengadakan pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan terkait isu royalti lagu guna menghimpun masalah. Secara umum, polemik seputar royalti berada pada hal-hal berikut ini:

Pertama, para musisi, utamanya para pencipta lagu, merasa tersisih dan tak mendapatkan keadilan di tengah belantara permusikan dan dunia pentas di Tanah Air. Pasalnya, ketika lagu mereka dinyanyikan, dipentaskan, atau dibawakan oleh berbagai pihak, sang pencipta tak ikut kecipratan rezeki yang didapat atas pementasan tersebut. Ibarat kata, habis manis sepah dibuang. Para pencipta lagu terlupakan justru di saat karya mereka mampu menyejahterakan pihak lain.

Kedua,para penyanyi atau mereka yang berprofesi dalam dunia tarik suara merasa bahwa keberadaan lembaga penerima royalti sudah cukup untuk menjawab keresahan para komposer atau pencipta lagu. Namun di sisi yang lain, manajemen dan profesionalitas masih menjadi masalah dari lembaga yang telah dibentuk sebagai amanat dari UU No.28 Tahun 2014 yakni LMK/LMKN. UU tersebut sesungguhnya sudah cukup progresif dalam menjawab ketimpangan rezim hak cipta di masa prareformasi. Namun demikian, berbagai cacat dalam implementasi di lapangan masih menjadi cerita klise dalam kehidupan admnistrasi kita. Kasus Ari Lasso dengan WAMI menunjukkan kenyataan tersebut.

Ketiga, dalam beberapa kasus, praktik pemenuhan royalti yang dilakukan oleh LMK/LMKN ada kesan menjadi seperti lembaga rente baru. Kasus Mie Gacoan bisa jadi contoh. Dalam Peraturan Pemerintah No.56 Tahun 2021 setidaknya ada 14 kategori “layanan publik bersifat komersil” yang bisa dikenai royalti ketika mereka memainkan sebuah lagu dalam aktivitas bisnisnya. Namun pertanyaannya, mengapa pihak-pihak itu dikenai royalti? Dasar pemikirannya seperti apa? Dalam kasus Mie Gacoan, bukankah yang dijual bukanlah musiknya? Mengapa harus kena royalti? Aturan yang ada dalam Pasal 3 Ayat 2 PP No.56 ini disinyalir menjadi akar masalah atau pusat kontroversi hingga membuat beberapa pelaku usaha seperti PO Eka Mira dan Sumber Alam ketakutan untuk memutar lagu di dalam bus.

Keempat, sengkarut ketiga masalah di atas akhirnya melahirkan sikap-sikap otonom dari beberapa musisi berupa pembebasan atas karya-karya mereka untuk dinyanyikan secara cuma-cuma oleh khalayak umum. Namun kenyataan ini ternyata malah menjadi polemik baru alih-alih menjadi solusi atas masalah yang terjadi. Atas sikap-sikap semacam ini, aturan yang ada pun belum memiliki ruang yang memadai untuk menyikapinya.

Kelima, apa yang menjadi polemik saat ini berkisar pada kisruh royalti dalam dunia musik Indonesia. Sementara UU Hak Cipta tidak hanya berbicara tentang karya musik melainkan juga karya di bidang lainnya. Apakah dengan begitu urusan royalti di bidang lain tidak ada masalah? Kita belum tahu benar. Yang pasti DPR kini sudah membentuk tim perumus yang terdiri dari perwakilan pihak-pihak terkait guna mengobservasi di level mana saja dibutuhkan perbaikan atau poin mana saja yang perlu direvisi; baik itu di level UU, PP, maupun Permen.

Dalam semua upaya tersebut, Komisi XIII DPR mengajak semua pihak untuk berpijak pada prinsip-prinsip keadilan sosial dan penghargaan atas hasil kerja kebudayaan. Dengan berpijak pada prinsip-prinsip yang jelas, diharapkan akan mampu mengatasi setiap masalah yang terjadi kemudian.

Prinsip-prinsip

Setidaknya ada empat prinsip yang mesti kita bangun bersama dalam membahas masalah serta berupaya membangun skema royati yang berkeadilan.

Prinsip pertama, penghargaan atas cipta karya atau hasil kerja kebudayaan. Apa itu hasil kerja kebudayaan? Ialah hasil olah karya, karsa, serta rasa manusia di berbagai bidang. Dalam hal ini, negara harus memastikan bahwa ada penghargaan atas sebuah karya. Dalam kasus dunia musik Indonesia saat ini, posisi ini relevan dengan para pencipta lagu. Wujud dari penghargaan ini ialah terbangunnya sistem dan infrastruktur yang memadai agar para komposer mendapatkan haknya secara memadai baik secara moral maupun ekonomi.

Prinsip kedua, terjadinya keadilan dalam relasi dan penghargaan yang diberikan. Dalam hal ini, negara harus membangun skema penghargaan secara berkeadilan. Setiap pihak yang terlibat dan terkait terhadap suatu karya mestilah memiliki porsi hak dan kewajibannya masing-masing. Termasuk dalam ini adalah akuntabilitas lembaga yang menjadi pihak ketiga dalam relasi antara para pencipta karya dengan para pengguna serta penikmat karya. Tidak hanya itu, dalam konteks ini negara juga harus memastikan adanya mekanisme penyelesaian yang memadai ketika terjadi sengketa di antara mereka.

Prinsip ketiga, hak publik atas hasil kebudayaan. Bagaimanapun, meski suatu karya adalah milik pribadi (privat) namun ia juga memiliki dimensi kepublikannya. Dengan demikian, bentuk keadilan yang dibangun tidak hanya terhadap pihak-pihak yang terkait secara langsung, akan tetapi juga terhadap kehidupan sosial secara umum. Hal ini tidak hanya terkait dengan apa yang disebut Ekspresi Budaya Tradisional (EBT) akan tetapi juga terkait cipta karya secara umum. Dalam hal ini, istilah “layanan publik yang bersifat komersil” relevan untuk ditelaah kembali, baik sebagai istilah maupun terkait pemilahan tentang mana yang bisa disebut komersil dan mana yang tidak.

Prinsip keempat, hak pribadi atas karya. Hak ini mengacu pada kasus di mana sebagian musisi membebaskan karyanya untuk diakses oleh khalayak umum. Dalam konteks ini, bagaimanakah negara mesti menyikapinya? Apakah ia bisa diberikan keleluasaan penuh mengingat sebuah karya bisa disebut sebagai propertinya, ataukah ia mesti tetap berada dalam koridor yang telah ditentukan? Revisi atas peraturan mestilah mencakup konteks semacam ini demi terpenuhinya kejelasan sikap negara atas sikap warganya.

Setidaknya empat prinsip itulah yang akan menjadi prinsip utama dalam pembahasan terkait hak cipta yang kini tengah bergulir. DPR, dalam hal ini Komisi XIII, Badan Legislasi, serta Badan Keahlian Dewan, akan bekerja secara seksama dan seefektif mungkin dalam upaya memformulasikan rumusan atau skema royalti yang berkeadilan sebagai jaminan dan kepastian hukum dari negara atas hasil cipta karya warganya.

(*/KL)

Add Comment