Nurhadi Soroti Tumpang Tindih Kewenangan dalam Program Penurunan Stunting

JAKARTA (4 September): Anggota Komisi IX DPR RI, Nurhadi, melontarkan kritik keras terhadap Kementerian Pembangunan Kependudukan, Keluarga Berencana, dan Gizi Bangsa (Kemendukbangga/BKKBN) dalam rapat pembahasan Rencana Kerja dan Anggaran Lembaga (RKAL) Tahun 2026.

Nurhadi menegaskan, persoalan penyuluh keluarga berencana (KB) hingga hari ini masih menggantung tanpa kepastian. Ribuan penyuluh yang menjadi ujung tombak program keluarga berencana dan penurunan stunting terus menyuarakan kegelisahan, tetapi jawaban pemerintah tak pernah berubah.

“Sejak 2019 mereka sudah melakukan advokasi ke berbagai pihak, sampai turun aksi demonstrasi. Tetapi jawabannya selalu sama, belum ada kejelasan. Bahkan terakhir disebut tidak mungkin ada pengangkatan P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) tahun ini. Sampai kapan aspirasi yang diperjuangkan lebih dari lima tahun ini dibiarkan menggantung?” tandas Nurhadi.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Timur VI (Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Blitar) itu mengungkapkan, jumlah penyuluh KB aktif saat ini sekitar 16 ribu orang, namun lebih dari 11 ribu masih berstatus non-ASN. Padahal, kebutuhan ideal di seluruh desa dan kelurahan mencapai 40 ribu penyuluh. Artinya, bukan hanya status mereka yang tidak jelas, tetapi jumlahnya pun sangat jauh dari kebutuhan riil di lapangan.

“Ironisnya, dalam kondisi kekurangan tenaga, pemerintah justru melakukan efisiensi anggaran dan melempar beban kembali ke daerah. Padahal, daerah sudah jelas tidak punya kemampuan anggaran. Apa artinya? Negara melepaskan tanggung jawabnya sendiri,” tegasnya.

Nurhadi juga menyoroti praktik rangkap jabatan yang masih terjadi di level wakil menteri, termasuk di Kemendukbangga/BKKBN. Ia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 128/PUU-XXIII/2025 sudah dengan tegas melarang wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN atau pejabat negara lainnya.

“Wakil menteri adalah jabatan strategis yang menuntut dedikasi penuh untuk mempercepat program prioritas. Kalau malah dirangkap, muncul pertanyaan kritis, apakah rakyat masih bisa berharap pada kinerja optimal? Pejabat negara seharusnya memberi teladan, bukan membuka ruang konflik kepentingan,” tandas Nurhadi.

Selain itu, ia menilai masih ada tumpang tindih kewenangan antara Kementerian Kesehatan dan BKKBN, terutama dalam program penurunan stunting dan pemberian gizi bergizi gratis. Menurutnya, jika persoalan itu tidak segera dibenahi, yang rugi adalah rakyat karena anggaran habis, program jalan sendiri-sendiri, sementara hasilnya tidak maksimal.

“Kalau peran dua lembaga ini tumpang tindih, program hanya jadi slogan. Harus ada kejelasan siapa mengerjakan apa, supaya tidak ada pemborosan dan rakyat betul-betul merasakan manfaatnya,” tukasnya.

Nurhadi mengingatkan bahwa persoalan stunting bukan sekadar soal kesehatan, tetapi soal masa depan bangsa. Jika angka stunting yang dikelola Kemendukbangga/BKKBN masih tinggi, maka bonus demografi yang seharusnya menjadi keuntungan justru akan berubah menjadi bencana demografi.

“Bonus demografi hanya bisa menjadi berkah kalau generasi mudanya sehat, cerdas, dan produktif. Kalau angka stunting dibiarkan tinggi, jangan salahkan kalau bonus demografi berubah jadi beban bangsa. Itu bukan keuntungan, tapi bencana yang akan menggerogoti masa depan kita,” terangnya.

Nurhadi pun meminta pemerintah segera memberikan roadmap yang jelas terkait pengangkatan penyuluh KB, menindaklanjuti putusan MK terkait rangkap jabatan, dan menata ulang koordinasi lintas kementerian agar program prioritas seperti stunting dan gizi bisa berjalan efektif.

“Kalau pusat dan daerah terus saling lempar tanggung jawab, yang jadi korban bukan hanya penyuluh, tetapi juga rakyat. DPR menuntut kejelasan: apa target pemerintah dalam menyelesaikan status penyuluh, menegakkan putusan MK, dan memastikan program stunting serta gizi ini tidak tumpang tindih?” pungkas Nurhadi. (Zal/*)

Add Comment