Nabi Muhammad SAW Leadership Negara Modern

Oleh Mohsen Hasan Alhinduan

(Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem)

 

SETIAP tahun umat muslim sedunia memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW atau perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hikmah memperingati acara tersebut antara lain meningkatkan kecintaan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW, meneladani akhlak mulia beliau, memperkuat keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT, serta memperdalam pemahaman ajaran Islam serta mengkaji lebih dalam gaya kepemimpinan (leadership) dan muamalatnya antarsesama.

Maulid Nabi Muhammad juga berfungsi sebagai sarana dakwah dan pendidikan, momen untuk bersyukur atas kelahiran Nabi sebagai rahmat, serta ajang refleksi spiritual dan evaluasi diri dalam menjalani kehidupan.

Menurut Michael H. Hart dalam The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History menempatkan Nabi Muhammad pada urutan pertama tokoh paling berpengaruh di dunia. Hal ini bukan semata karena beliau seorang Nabi, melainkan juga karena kepiawaiannya dalam memimpin umat, membangun negara, serta mengelola aparatur dengan prinsip keadilan dan keberpihakan kepada rakyat kecil.

Dalam konteks modern, kepemimpinan Rasulullah menawarkan inspirasi penting bagi bangsa-bangsa yang sedang berjuang melawan korupsi, ketidakadilan, serta krisis kepercayaan rakyat terhadap negara.

Kepemimpinan Nabi Muhammad bukan hanya bersifat transendental, tetapi juga praktis. Sebagai Rasul, beliau menyampaikan risalah Allah. Namun sebagai kepala negara Madinah, beliau menjalankan fungsi manajerial, administratif, hingga militer.

Uniknya, kedua dimensi ini tidak pernah dipisahkan: politik senantiasa berakar pada moral, dan moral selalu diwujudkan dalam kebijakan publik.

Pelayan Umat
Prinsip kepemimpinan yang beliau tegakkan menegaskan bahwa seorang pemimpin adalah khadim al-ummah (pelayan umat), bukan penguasa yang meminta dilayani. Sabda beliau: “Sayyidul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka).

Konsep ini sangat relevan dengan teori _servant leadership_ dalam manajemen modern, yang menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mengabdi untuk kebaikan tim dan masyarakat.

Ketika hijrah ke Madinah, Rasulullah menyusun Piagam Madinah yang dapat dianggap sebagai konstitusi pertama di dunia. Piagam ini mengatur hak dan kewajiban seluruh warga, baik Muslim maupun non-Muslim, serta meletakkan dasar persamaan di hadapan hukum. Piagam ini menegaskan prinsip bahwa negara harus melindungi semua warganya tanpa diskriminasi.

Dalam hal aparatur, Rasulullah sangat selektif dalam memilih pejabat. Abu Ubaidah bin Jarrah dikenal sebagai aminul ummah (orang terpercaya umat), Umar bin Khattab terkenal karena ketegasan dan integritasnya, sementara Ali bin Abi Thalib dihormati karena kecerdasan hukum dan keadilannya serta keluasan wawasannya.

Penunjukan pejabat dilakukan berdasarkan kapasitas dan akhlak, bukan karena hubungan kekerabatan hal yang masih menjadi tantangan besar bagi negara modern yang kerap terjebak nepotisme.

Salah satu ciri utama kepemimpinan Rasulullah adalah keberpihakannya pada kelompok yang lemah. Beliau mengangkat derajat budak, melindungi anak yatim, memperjuangkan hak perempuan, dan memuliakan fakir miskin. Kebijakan zakat, misalnya, bukan sekadar ritual, melainkan instrumen ekonomi negara untuk redistribusi kekayaan dan pengentasan kemiskinan.

Hal ini sejalan dengan konsep welfare state dalam ilmu politik modern, di mana negara bertanggung jawab menyediakan jaminan sosial, kesehatan, dan pendidikan bagi rakyatnya.

*Negara yang Adil dan Sejahtera*
Dengan demikian, Nabi Muhammad tidak hanya membangun sebuah komunitas spiritual, tetapi juga membangun fondasi negara yang sejahtera dan adil.

Jika prinsip kepemimpinan Rasulullah diadaptasi dalam konteks kenegaraan modern, maka terdapat beberapa poin penting:

Pemimpin sebagai teladan moral. Kepemimpinan tidak boleh dipisahkan dari akhlak (etika). Seorang pemimpin negara bukan sekadar manajer politik, tetapi juga figur moral yang memberi arah.

Aparatur yang profesional dan bebas dari korupsi. Integritas harus menjadi syarat utama dalam birokrasi. Penunjukan pejabat berdasarkan kapasitas dan kejujuran, bukan karena kedekatan atau kepentingan politik.

Kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Negara modern dituntut menghadirkan kebijakan redistributif yang melindungi kelompok rentan, sebagaimana konsep zakat dan wakaf dalam Islam.

Hukum yang adil dan setara. Prinsip egaliter dalam Piagam Madinah dapat menjadi inspirasi bagi supremasi hukum modern yang menolak diskriminasi.

Partisipasi rakyat dalam pembangunan. Rasulullah kerap bermusyawarah (syura) dengan para sahabat dalam mengambil keputusan. Ini dapat dihubungkan dengan konsep demokrasi deliberatif yang menekankan keterlibatan rakyat dalam kebijakan publik.

Nabi Muhammad adalah pemimpin terbaik sepanjang sejarah bukan semata karena posisinya sebagai utusan Tuhan, tetapi juga karena beliau mampu menghadirkan negara yang adil, aparatur yang berintegritas, serta kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil.

Layak Diteladani
Dalam konteks krisis kepemimpinan di berbagai negara modern, prinsip-prinsip Rasulullah menjadi cermin yang layak diteladani.

Kepemimpinan beliau adalah bukti nyata bahwa negara yang kuat bukanlah yang menindas rakyatnya, melainkan yang melayani, melindungi, dan memuliakan mereka. Inilah kepemimpinan yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga membangun peradaban.

Disebutkan dalam AlQuran, (QS. Al Ahzab :21) yang artinya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah”. (QS. Al Ahzab :21).

Meneladani ajaran Rasulullah selain menjaga hubungan herizontal (hablumminannas) dan vertikal (hablumminallah) yang paling utama adalah berbudi pekerti yang baik, berakhlak dan bermoral.

Dalam sabdanya, “Sesungguhnya aku diutus kepada kalian untuk menyempurnakan prilaku dan moral anda.” Hadits.

Kesimpulannya sebagai manusia yang beriman wajib kita menerapkan kejujuran (siddiq), amanah (dapat dipercaya), menyampaikan ajaran kebaikan kepada yang lain dengan transparan dan jujur (tabligh), erdas dan cermat (fathonah) memiliki kecerdasan intelektual,spritual, dan emosional.

Menggunakan akal untuk memahami ilmu, berekreasi, dan menyelesaikan masalah dengan bijak, sifat sabar, lemah lembut, bersikap toleran, rendah hati dan tidak sombong.

Gaya politik kepemimpinan Nabi Muhammad adalah perpaduan antara kebijaksanaan, transparansi, keadilan, dan empati, serta kemampuan diplomasi dan musyawarah untuk membangun persatuan umat.

Beliau berkomunikasi dengan lemah lembut namun tegas pada prinsip, menggunakan pendekatan logis dan realistis, serta menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi untuk mencapai tujuan dakwah dan pemerintahan.

(WH/GN)

Add Comment