RUU PPRT Atur Pelatihan Vokasi agar PRT Naik Kelas Jadi Tenaga Terampil
JAKARTA (11 September): Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, mengatakan RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) membuka peluang calon PRT dan PRT untuk mendapatkan pelatihan vokasi atau keterampilan tertentu.
Pelatihan diperlukan agar PRT dapat beralih dari yang semula berkategori tenaga kerja yang tidak terampil (unskilled labour), menjadi tenaga kerja terampil (skilled labour).
“Itu perlu pendidikan vokasi. Sehingga PRT kita tidak selalu dikategorikan unskilled labour. Lama-kelamaan PRT itu harus skilled labour, karena di sana ada skill” kata Martin dalam Raker dan RDP Baleg dengan Menteri Ketenagakerjaan, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dan Kaukus Perempuan Politik Indonesia, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Legislator Partai NasDem itu mengatakan, selama ini PRT kerap kali dikategorikan sebagai pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau unskilled labour.
“Banyak PRT kita banyak yang tidak punya ijazah, bahkan mungkin buta huruf. Ini kan tanggung jawab Dikdasmen juga bagaimana membuat PRT kita ini semakin naik kelas,” katanya.
Padahal, kata Martin, pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga memerlukan keahlian dan keterampilan khusus. Ia mencontohkan, di luar negeri di mana housemaid (PRT) dan sopir yang berpakaian rapi dan memiliki keterampilan yang sangat baik.
“Pekerjaannya juga skilled, dari caranya berpakaian, caranya menyajikan kopi, cara menyajikan teh, berapa derajat suhunya kopi. Itu perlu pendidikan vokasi,” ujarnya.
“Kalau di luar negeri housemaid itu skilled labour,” imbuh Martin.
Menurut Martin, pelatihan keterampilan ini penting diberikan, sehingga PRT kita itu tidak selalu dikategorikan sebagai unskilled labour.
Terkait mekanisme pelatihan vokasi, termasuk pembiayaannya, Panja RUU PPRT masih akan merumuskan ketentuan yang tidak memberatkan pemerintah, pemberi kerja, atau PRT.
Dalam draf RUU PPRT yang ada, kata Martin, pembiayaan pelatihan vokasi tersebut akan ditanggung oleh pemerintah pusat maupun daerah.
“Kita tidak ingin pembiayaan ini kemudian memberatkan PRT. Jadi tidak harus ditanggung oleh PRT, karena dalam praktiknya, ada yang potong gaji. Kasarnya seperti itu,” pungkas Martin. (Yudis/*)