Transisi ke EBT Penting untuk Kurangi Ketergantungan pada Energi Fosil
PALEMBANG (15 September): Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, Sugeng Suparwoto, menegaskan pentingnya transisi energi menuju sumber energi baru dan terbarukan (EBT) sebagai langkah strategis Indonesia untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil seperti minyak, gas, dan batu bara.
Ia menyoroti potensi besar Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia yang diperkirakan bisa mencapai 3.000 gigawatt (gw). Sugeng mencontohkan PLTS di Jakabaring, yang dibangun pada 2018, sebagai salah satu best practice pemanfaatan energi surya di Tanah Air
“Jakabaring ini merupakan best practice baik ini dibangun tahun 2018 untuk Asian Games. Itu menjadi percontohan di dunia bahwa Indonesia punya komitmen untuk masuk ke energi baru terbarukan,” kata Sugeng dalam Kunjungan Kerja Komisi XII ke PLTS Jakabaring, Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (11/9/2025).
Sugeng mengatakan, penggunaan energi fosil tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menimbulkan masalah ekonomi. Untuk itu, DPR bersama pemerintah berkomitmen untuk mempercepat pengembangan energi bersih sesuai dengan komitmen Indonesia dalam Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, yang telah diratifikasi menjadi UU No. 16/2016.
“Inilah salah satu best practice tentang pembangkit listrik tenaga surya yang ada di Jakabaring,” kata Sugeng.
Meski potensinya besar, PLTS juga memiliki keterbatasan, terutama karena sangat bergantung pada intensitas sinar matahari. Produksi listrik optimal hanya bisa dicapai sekitar pukul 11.00–14.00.
Selain itu, Sugeng menyoroti harga jual listrik dari PLTS yang saat ini dipatok Rp889 per kwh. Ia meminta agar harga tersebut ditinjau kembali, mengingat secara keekonomian biaya produksi bisa mencapai Rp1.600 per kwh.
“Saya tadi bahkan menyebut kurang lebih 9 sen dolar kalau enggak salah sampai tingkatnya Rp1.600-an. Nah ini memang sampai dua kali, hanya saja memang semua itu kan bisa dihitung economic scale-nya, skala ekonomi ketika capex (capital expenditure/pengeluaran modal) investasi kapan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sugeng mengungkapkan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menargetkan pembangunan kapasitas listrik baru sebesar 100 gw, dengan 75% di antaranya berasal dari energi terbarukan. Bahkan, energi nuklir juga masuk dalam rencana pengembangan jangka panjang.
“Semua itu harus kita songsong dengan ekosistem yang kita bangun secara baik. Karena kalau ekosistemnya tidak baik, nanti dihitung secara ekonominya tidak menarik, dalam konteks investasi saya kira susah untuk diwujudkan. Inilah yang terus kita upayakan,” kata Sugeng.
Sejauh ini, ia menyebut Indonesia masih tertinggal dalam konsumsi listrik per kapita, yakni sekitar 1.400 kwh, jauh di bawah Singapura (8.000 kwh) maupun Brunei (9.000 kwh).
Sugeng mendorong peningkatan elektrifikasi di berbagai sektor, termasuk transportasi dan rumah tangga, dengan memastikan sumber listrik berasal dari energi bersih dan terjangkau.
“Indonesia membutuhkan listrik besar tetapi dengan harga yang terjangkau itu namanya affordability harus dihitung. Nah inilah antara tantangan-tantangan. Memang Indonesia menghadapi dua tantangan sekaligus, kuantitatif dan kualitatif,” tukasnya. (dpr.go.id/*)