Upah Minimum tidak Sekadar Angka tapi Menyangkut Kesejahteraan Pekerja
NGAMPRAH (15 September): Ketua Komisi IX DPR RI, Felly Estelita Runtuwene, menegaskan bahwa masalah upah minimum kabupaten/kota (UMK) tidak semata-mata soal angka, melainkan menyangkut kesejahteraan pekerja, keberlanjutan usaha, hingga potensi konflik antara pekerja dan pemberi kerja.
Menurut Felly, pengupahan merupakan yang paling rawan dan penting di dalam hubungan industrial. Terutama antara pekerja dan pemberi kerja yang mempunyai kepentingan yaitu kelangsungan hidup dan kemajuan perusahaan.
“Tetapi di sisi lain antar keduanya juga memiliki perbedaan dan bahkan potensi konflik, terutama apabila berkaitan dengan persepsi atau interpretasi yang tidak sama tentang kepentingan masing-masing pihak,” kata Felly dalam kunjungan kerja Komisi IX DPR RI ke Kantor Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (12/9/2025).
Felly menekankan, pemerintah berupaya memberikan perlindungan dengan menetapkan upah minimum serta menerbitkan paket kebijakan ekonomi untuk memastikan kenaikan upah setiap tahun. Kebijakan tersebut juga dimaksudkan agar dunia usaha tetap dapat berjalan dengan lancar, produktif, dan kompetitif.
“Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat,” ungkap Felly.
Komponen kesejahteraan, kata Felly, tidak hanya berbentuk upah, tetapi juga jaminan sosial, bonus, tunjangan hari raya, maupun fasilitas seperti perumahan, transportasi, tempat ibadah, kantin, pelatihan, dan rekreasi. Namun, perbedaan pandangan mengenai nilai upah masih kerap memicu perselisihan.
“Sementara pekerja menganggap nilai upah minimum masih terlalu rendah, sehingga mereka harus bekerja lebih keras untuk dapat hidup sejahtera,” kata Felly.
Perbedaan pandangan itulah yang seringkali menimbulkan keresahan di kalangan pekerja dan mendorong mereka melakukan demonstrasi untuk meminta kenaikan upah setiap tahunnya.
“Hal ini hampir terjadi di seluruh provinsi, kabupaten dan kota yang akan menetapkan UMP/UMK, begitu juga di Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat,” paparnya.
Sebagai ilustrasi, Pemda Jawa Barat telah menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar Rp3.736.741 atau naik 6,5% dari tahun sebelumnya, berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 561.7/798-kesra/2024 yang mengacu pada Permenaker No. 16/2024. Kenaikan sebesar Rp132.402 itu berlaku mulai 1 Januari 2025.
“Kebijakan kenaikan UMP ini menjadi contoh nyata bagaimana persoalan upah bukan sekadar hitung-hitungan angka, tetapi terkait langsung dengan keseimbangan kepentingan pekerja dan pengusaha, serta menjaga stabilitas hubungan industrial,” kata Felly. (dpr.go.id/*)