Tiga Alasan Fundamental yang Mendorong Perubahan UU Perbukuan
JAKARTA (29 September): Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, menekankan tiga hal fundamental yang mendorong perubahan UU No. 3/2017 tentang Sistem Perbukuan, yakni adanya dikotomi buku, ekosistem perbukuan, dan komitmen literasi.
Selama ini, kata dia, terjadi dikotomi antara buku diktat sekolah dan buku umum. Hal itu menyebabkan hanya buku diktat sekolah yang mendapatkan perhatian berupa subsidi dari negara.
“Buku umum tidak dapat perhatian. Perubahan UU Sistem Perbukuan ini agar tidak ada dikotomi. Semua buku adalah materi pembelajaran dan sumber ilmu pengetahuan, sehingga perhatian pemerintah bisa luas dan komprehensif,” jelas Willy, Minggu (28/9/2025).
Selanjutnya Willy menekankan perbaikan pada ekosistem perbukuan di Tanah Air. Ia menyoroti masih belum adilnya pembagian fee terhadap para penulis yang masih kecil. Selain itu, pajak buku juga masih tinggi yakni 11%, pajak kertas 22%, dan beberapa pajak lain.
“Ekosistem perbukuan kita tidak sehat. Di India buku itu kertasnya jelek saja, tapi semua penerbit dunia buka cabang di sana. Di sini harga buku Rp300 ribu, di sana hanya Rp30 ribu. Jadi perlu ada subsidi, afirmasi, subsidi kebijakan kertas, kebijakan fee penulis, pendistribusian,” tandasnya.
Yang tak kalah penting dalam perubahan UU Sistem Perbukuan ialah komitmen literasi. Willy mengurai masalah rendahnya literasi di Indonesia. Angka melek huruf mencapai 96%, namun angka literasi masih sangat rendah.
“Komitmen literasi. Buku bukan hanya kumpulan teks, buku adalah jendela dunia. Perintah langit pertama itu baca, iqra. Artinya, literasi critical thinking. Itu dalam agama, tidak boleh membabi buta,” tegasnya.
Untuk alasan-alasan tersebut, Willy mendorong perubahan pada UU Sistem Perbukuan. Ia mengajukan perubahan fundamental dalam beleid tersebut.
“Buku adalah instrumen memeriksa masa lalu, membaca keadaan sekarang, dan meneropong masa depan,” jelas Willy. (Yudis/*)