Keberadaan Krakatau Steel Penting sebagai Penopang Industri Baja Nasional
JAKARTA (2 Oktober): Anggota Komisi VI DPR RI, Rachmat Gobel, menegaskan pentingnya menjaga keberadaan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk sebagai industri strategis nasional. Menurutnya, tanpa industri baja yang kuat, Indonesia akan kehilangan daya tarik sekaligus melemahkan fondasi pembangunan ekonomi.
Terbukti, hingga paruh pertama 2025, Krakatau Steel masih dibebani utang sekitar US$1,7 miliar atau setara Rp28,37 triliun. Meski pendapatan usaha tumbuh 3,63% menjadi US$460,82 juta, perusahaan tetap merugi US$107,11 juta atau Rp1,74 triliun.
Berangkat dari data-data tersebut, Komisi VI kini menyoroti pentingnya restrukturisasi utang, efisiensi internal, serta kebijakan perdagangan yang lebih berpihak pada industri baja nasional.
“Kalau tidak ada industri baja, saya kira republik yang besar ini akan lemah. Karena industri baja itu sangat penting,” kata Gobel dalam RDP Komisi VI DPR dengan Direktur Utama PT Krakatau Steel Muhammad Akbar Djohan, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Namun, Gobel juga menyoroti bahwa selama puluhan tahun Krakatau Steel terlalu lama mendapat perlindungan pemerintah. Kondisi itu, justru membuat perusahaan tidak tumbuh sehat dan gagal berkembang menjadi pemain baja yang tangguh.
“Dari awal berdiri selalu diproteksi. Mungkin karena terlampau diproteksi, sehingga nggak tumbuh menjadi perusahaan yang dewasa, yang kuat,” ujarnya.
Meski begitu, Gobel mengakui ada sejumlah perubahan positif di tubuh Krakatau Steel di bawah kepemimpinan Direktur Utama saat ini, Akbar Himawan Buchari. Ia optimistis ada perbaikan signifikan.
“Apalagi nama Bapak Akbar, saya bayangkan akan ada perubahan besar. Kita harap ini jadi momentum,” katanya.
Di sisi lain, Gobel menilai, pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk menyeimbangkan antara proteksi dan tuntutan perbaikan internal. Bahkan, dirinya mengusulkan agar Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan dihadirkan dalam pembahasan lanjutan.
“Di satu sisi kita proteksi, tapi kita tuntut juga perusahaan ini untuk membenahi ke dalam. Jadi nggak bisa lagi hanya diproteksi terus,” tegasnya.
Selain faktor internal, ia juga menyoroti ancaman eksternal, khususnya dari Tiongkok. Ia menyebut kebijakan oversupply baja yang dilakukan Negeri Tirai Bambu bukanlah kebetulan, melainkan strategi untuk melemahkan industri baja negara lain.
“Mereka selalu jual murah dulu, setelah industrinya mati, baru dia menentukan harga. Itu pola monopoli yang berbahaya,” jelas Gobel.
Mengakhiri pernyataan, ia menekankan, proteksi terhadap Krakatau Steel bukan sekadar alasan proteksionisme, melainkan langkah untuk melawan praktik monopoli global. Sebab itu, ia mengingatkan perusahaan tetap memiliki kewajiban untuk berbenah diri dari sisi manajemen, efisiensi, dan kinerja operasional.
“Saya percaya di bawah pimpinan Pak Akbar dengan jajarannya, pembenahan (Krakatau Steel) ini bisa dijalankan,” pungkas Gobel. (dpr.go.id/*)