Perlu Kesamaan Pandangan dan Pengaturan Terintegrasi tentang Masyarakat Adat
JAKARTA (2 Oktober): Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Martin Manurung, menekankan perlunya kesamaan pandangan dari pemangku kebijakan dan prosedur yang terintegrasi untuk mengurai berbagai permasalahan yang terkait masyarakat adat.
Menurut Martin, salah satu persoalan masyarakat adat adalah tersebarnya pengaturan di beberapa regulasi yang menimbulkan ego sektoral antarkementerian/lembaga terkait.
“Contoh dari Kementerian Kehutanan, tentu fokusnya adalah hutan adat yang berada dalam kawasan hutan negara. Lalu ATR/BPN fokusnya adalah tanah ulayat dan proses pendaftaran tanah,” ungkap Martin dalam Focus Group Discussion (FGD) Badan Keahlian DPR RI yang membahas Masyarakat Hukum Adat, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/10/2025).
Menurut legislator Partai NasDem itu, perbedaan fokus antarkementerian/lembaga kerap kali menyebabkan mismatch (ketidakcocokan), bahkan konflik di lapangan.
“Jadi jika suatu wilayah adat masuk dalam kawasan hutan sebagaimana diklaim oleh Kementerian Kehutanan, proses pengakuannya harus melalui mekanisme hutan adat. Sementara itu, jika di luar kawasan hutan harus melalui mekanisme ATR/BPN,” urainya.
Untuk itu, diperlukan kesamaan pandangan dan prosedur yang terintegrasi sehingga masyarakat adat tidak menemui birokrasi yang berbelit. Misalnya, ketika ingin mendapatkan pengakuan, baik terhadap hutan adat maupun tanah ulayat.
“Apalagi ada ego sektoral, tambah lagi. Karena sering juga kawasan tambang ketika ingin mengajukan izin, bersinggungan juga dengan kawasan hutan adat ataupun kawasan tanah ulayat,” tegasnya.
Martin menegaskan bahwa diperlukan political will bersama agar status masyarakat adat yang sudah dijamin oleh konstitusi tidak mengalami ketidakjelasan induk regulasi.
Lebih lanjut terkait ketakutan sejumlah pihak bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat akan menghambat investasi, menurut Martin, justru bakal beleid itu akan memperjelas status masyarakat adat, sekaligus kejelasan investasi.
“Ketika (investasi) menghadapi masyarakat adat, bukan sekonyong-konyong sekelompok masyarakat yang mengaku masyarakat adat, tapi dia udah punya pengakuan yang jelas, pelindungannya jelas, sehingga mereka tahu berurusan dengan siapa,” ujarnya.
“Tinggal nanti persyaratannya yang kita susun supaya jangan sekonyong-konyong lahir ribuan atau jutaan masyarakat adat. Dia harus make sense gitu, kalau dia masyarakat adat,” tukas Martin. (Yudis/*)