Subardi Desak Evaluasi Menyeluruh Kebijakan Impor Gula Rafinasi
JAKARTA (2 Oktober): Anggota Komisi VI DPR RI, Subardi, menyoroti kebijakan impor gula rafinasi yang tidak berpihak pada petani tebu dalam negeri. Ia menegaskan pengelolaan impor gula harus dievaluasi secara menyeluruh karena dampaknya telah merusak ekosistem pertanian tebu nasional.
“Kemendag itu operator menjalankan kebijakan pemerintah. Tapi sekarang jangan hanya jadi operator, kita minta Kemendag juga beri inovasi, bagaimana kebijakan ini bisa dijalankan demi rakyat, bukan malah merugikan petani,” ujar Subardi dalam RDP Komisi VI DPR dengan Kementerian Perdagangan, PT Rajawali Nusantara Indonesia, PT Perkebunan Nusantara III, Perum Bulog, dan 11 perusahaan pemegang izin impor gula rafinasi, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
Subardi menyoroti realisasi impor gula rafinasi tahun 2025 yang mencapai sekitar 2,8 juta ton, dan menyebut jumlah itu tidak memberi manfaat nyata kepada petani lokal. Justru, kebijakan tersebut secara langsung maupun tidak langsung membunuh penghidupan petani tebu.
“Itu justru menurut saya membunuh petani. Padahal kita ingat, pada masa Belanda Indonesia itu ekspor terbesar, dan petani hidup dari tebu. Ini kebalikannya. Sekarang negara sendiri justru membunuh petani tebu,” ujarnya.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan dan Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa pada tahun 2025, total kuota impor gula rafinasi ditetapkan sebesar 3,4 juta ton, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun dalam pelaksanaannya, hingga kuartal ketiga 2025, sudah masuk izin impor sebesar 4,1 juta ton, dan sisanya sebanyak 200 ribu ton ditahan sementara.
Kondisi tersebut, menurut Subardi, menunjukkan lemahnya pengendalian, dan potensi permainan di balik distribusi kuota. Ia juga menyinggung kondisi tragis di daerah yang terdampak langsung. Salah satunya adalah penutupan operasional Pabrik Gula GMM di Blora, Jawa Tengah, yang tak mampu menyerap cukup tebu dari petani.
Pada September 2025, pabrik baru menggiling 54,6% dari target, yakni hanya 218.771 ton tebu dari target 400.000 ton. Hal tersebut memicu protes dari petani lokal dan menambah panjang daftar masalah dalam industri gula domestik.
“Ada pabrik gula di Kisah Timur yang umurnya 60 tahun, dari zaman Belanda, sekarang tutup. Ini ironi. Belanda dulu menjajah tapi masih bisa menghidupi petani tebu. Sekarang kita merdeka, tapi petani justru dimatikan oleh kebijakan negara sendiri,” jelasnya.
Tidak hanya menyoal kebijakan yang lemah, Subardi bahkan mengindikasikan adanya dugaan konspirasi antara pihak-pihak tertentu, termasuk pabrik pengimpor, yang secara sengaja memainkan distribusi gula rafinasi untuk menguasai pasar dalam negeri dan menekan harga gula lokal.
“Yang sekarang ini justru pabrik-pabrik legal, tapi ternyata ikut konspirasi yang mungkin merugikan rakyat. Ini yang harus diselidiki dan diusut, jangan dibiarkan,” katanya.
Sebagai langkah konkret, legislator Partai NasDem itu mengusulkan pembentukan panitia kerja (panja) khusus untuk mengawal persoalan gula rafinasi dan menyelamatkan masa depan petani tebu nasional. Ia menegaskan bahwa isu ini bukan milik satu fraksi atau partai, tetapi tanggung jawab kolektif seluruh elemen di DPR.
“Mohon dibentuk panja secara khusus. Ini bukan urusan Fraksi NasDem saja, tapi urusan kita semua. Bagaimana kita menyelamatkan petani tebu, menyelamatkan rakyat, dan menyelamatkan uang negara. Ini harga mati,” tegasnya. (dpr.go.id/*)