Willy Aditya: Menjaga Akal Sehat, Merawat Pikiran, Menghidupkan Restorasi

PADANG (5 Oktober): 80 tahun perjalanan Sumatra Barat bukan sekadar catatan administratif, melainkan mosaik sejarah yang sarat makna. Dari tanah Minangkabau telah lahir gagasan besar, pemimpin bangsa, dan pemikir dunia. Sejarah mencatat, Sumatra Barat bukan hanya wilayah geografis, tetapi rahim gagasan kebangsaan — tempat bertemunya Islam, adat, dan intelektualitas.

Hal tersebut disampaikan Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya saat memeringati momentum bersejarah Refleksi 80 Tahun Sumatra Barat yang dilangsungkan di Cafe Naras, Kota Padang, Sabtu (4/10/2025).

“Kalau tidak ada orang Minang, tidak ada Indonesia,” ujar Willy.

Ungkapan tersebut, jelas Willy, menggambarkan kesadaran historis akan besarnya kontribusi intelektual Minangkabau terhadap berdirinya Republik Indonesia. Dari masa pergerakan hingga era modern, gagasan anak Minang menjadi denyut nadi kemerdekaan dan kemajuan bangsa.

“Sejak awal abad ke-20, Tanah Minang dikenal sebagai epistemic community — komunitas pemikiran yang menempatkan akal sebagai panglima. Dari surau tradisional hingga sekolah modern, lahirlah cendekiawan dan pemimpin pembaharu,” terang Willy.

Ditambahkannya, nama-nama besar seperti Haji Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, hingga Buya Hamka menjadi bukti bahwa Minangkabau adalah tanah ide dan intelektualitas.

“Mereka adalah manusia idea — yang dengan pena dan pikirannya menembus batas ruang dan zaman,” tukas Willy.

Dalam Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) Tan Malaka menulis, pikiran adalah senjata yang paling tajam.

Ungkapan itu, jelas Willy, menjadi fondasi bagi masyarakat Minang untuk terus berpikir kritis, rasional, dan berani berbeda.

“Restorasi bukan slogan politik, tetapi ikhtiar mengembalikan kejernihan berpikir dan moral bangsa, nilai-nilai yang sejatinya telah lama hidup dalam tradisi intelektual Minangkabau,” terang Willy.

Willy pun menuturkan, salah satu refleksi budaya yang menarik adalah konsep ‘cemeeh’ budaya ledekan khas masyarakat Minangkabau.

“Cemeeh bukan sekadar ejekan,” ujar Willy, “tetapi mekanisme sosial yang merawat akal sehat. Dengan cemeeh, masyarakat Minang terbiasa berpikir kritis, tahan banting, dan tidak mudah baper,” jelasnya.

Bahkan, ia menyarankan agar budaya cemeeh dijaga dan dikembangkan sebagai bagian dari identitas intelektual.

“Rawatlah cemeeh dengan baik, kapan perlu adakan lomba cemeeh,” ujarnya disambut tawa hadirin.

Dalam kacamata antropologi budaya, cemeeh adalah kritik sosial egaliter, alat masyarakat untuk menyaring perilaku kekuasaan, mengontrol arogansi, serta menumbuhkan kepekaan sosial dan intelektual.

“Budaya ini melatih popular rationality (rasionalitas rakyat) yang cerdas, spontan, dan tajam dalam logika,” tukasnya.

Di samping itu, Willy juga menegaskan bahwa tidak ada resep monolitik untuk menyatukan orang Minang.

“Masyarakat Minangkabau memiliki karakter dinamis dan egaliter, tidak dapat dipersatukan oleh faktor ekonomi atau politik semata, melainkan oleh nilai, pikiran, dan budaya,” katanya.

Pernyataan ini sejalan dengan teori pluralisme sosial-budaya Clifford Geertz, bahwa masyarakat berkarakter kompleks tidak dapat diseragamkan, tetapi harus dikelola dalam keragaman nilai.

“Nilai adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah menjadi simpul pemersatu yang meneguhkan jati diri. Inilah kekuatan demokrasi kultural Minangkabau, kebebasan berpikir dan berdebat yang dijalankan dengan sopan, beradab, dan penuh rasa hormat,” ujarnya.

Dari sinilah, tambah Willy, tumbuh intellectual resilience, ketahanan berpikir dan moral yang menjadi modal sosial utama masyarakat Minangkabau.

“Perjalanan 80 tahun Sumatra Barat menunjukkan bahwa kejayaan tidak lahir dari kenyamanan, tetapi dari perjuangan ide dan kesadaran moral,” ujarnya.

Generasi Minangkabau masa kini diharapkan meneladani semangat Tan Malaka yang berpikir lintas zaman, Hatta yang teguh dalam integritas, dan Buya Hamka yang memadukan iman dengan akal.

Konsep Restorasi yang diusung Partai NasDem, menurut Willy, sejalan dengan nilai dasar Minangkabau, yakni upaya menghidupkan kembali daya pikir, memulihkan nalar sehat, dan membangun moralitas publik.

“Dalam dunia yang semakin bising dan terpolarisasi, Sumatra Barat harus kembali menjadi laboratorium akal sehat dan kemanusiaan,” tutup Willy Aditya.

Refleksi 80 Tahun Sumatra Barat bukan sekadar perayaan administratif, tetapi perenungan eksistensial tentang jati diri dan peran kebudayaan dalam membangun bangsa. Momentum tersebut dihadiri tokoh-tokoh cendekia, perantau, dan pejabat publik berkumpul menelusuri kembali jejak panjang Sumatra Barat sebagai pusat peradaban, pemikiran, dan kebangsaan Indonesia.

Selain Willy Aditya, hadir dalam acara tersebut Ir. M. Shadiq Pasadigoe, S.H., M.M. dan Cindy Monika Salsabila (Anggota DPR RI Fraksi Partai NasDem), pimpinan DPRD Sumbar seperti Nanda Satria, Selamat Simabura, Ilson Chong, Fadly Amran (Wali Kota Padang), H. Maigus Nashir (Wakil Wali Kota Padang), H. Risnaldi (Wakil Bupati Pesisir Selatan), Khairul Jasmi, wartawan senior sekaligus sejarawan, Medi Iswandi, Asisten III Pemprov Sumbar. (*)

Add Comment