Wujudkan Kebudayaan sebagai Jiwa dan Perekat Anak Bangsa Hadapi Tantangan Zaman

SEMARANG (6 Oktober): Bangun kekuatan bersama untuk membentuk dan menjaga kebudayaan sebagai jiwa dan perekat setiap anak bangsa agar mampu menjawab berbagai tantangan di era globalisasi saat ini.

“Kebudayaan sesungguhnya adalah perekat atau lem sosial yang tidak terlihat dan dibangun dari nilai-nilai toleransi, kebersamaan, dan saling menghormati yang hidup dalam tradisi lokal,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam acara Orasi Budaya dan Pameran Lukisan Retrospeksi Terbesar di Kampus Indonesia karya pelukis Arrie Djatmiko, bertema Kebudayaan Sebagai Identitas dan Perekat Bangsa dalam rangka Dies Natalis ke-60 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Senin (6/10/2025).

Hadir pada kesempatan itu Prof. Dr. Suharnomo, S.E., M.Si. (Rektor Universitas Diponegoro/UNDIP), Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum. (Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNDIP) dan civitas akademika UNDIP.

Perjalanan sejarah, jejak bangsa, perekat bangsa sejak masa lalu, bahkan sejak kerajaan di Nusantara bersatu melawan kolonialisme, menurut Lestari, semua itu terjadi karena perasaan dan pemahaman yang sama tentang budaya yang kita miliki.

Filosofi Bhineka Tunggal Ika, tegas Rerie, sapaan akrab Lestari, merupakan kristalisasi dari dialektika kebudayaan yang sesungguhnya adalah DNA spiritual bangsa yang merajut perbedaan menjadi tenun kebangsaan yang indah dan kokoh.

Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil Jawa Tengah II itu berpendapat, persepsi dan pemahaman yang berkembang saat ini bagian dari konstruksi pemikiran yang merupakan tantangan bagi kita di tengah perkembangan teknologi dan sejumlah perubahan yang dihadapi saat ini.

Dalam konteks mengamalkan nilai-nilai untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menurut Rerie, kita harus kembali kepada pemikiran besar kebudayaan sebagai jiwa dan perekat bangsa di tengah tantangan yang dihadapi saat ini.

Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berpendapat, kebudayaan sesungguhnya bisa menjadi jawaban dalam menjawab berbagai tantangan mulai pudarnya ikatan kebangsaan yang kita miliki.

Nilai-nilai guyub rukun, tepo seliro, gotong royong, dan filosofi yang diajarkan secara turun temurun dan ada dalam diri setiap anak bangsa, tegas Rerie, harus mampu dihidupkan kembali dalam menjawab berbagai tantangan itu.

Menurut Rerie, kalangan akademisi harus mampu melahirkan agen-agen budaya yang tidak hanya mempelajari, tetapi juga merekonstruksi nilai-nilai budaya Indonesia yang relevan dengan dunia modern saat ini.

Langkah memperkuat akar dan mengoptimalkan ruang budaya, ujar Rerie, harus konsisten dilakukan agar generasi penerus bangsa dapat bersentuhan, memahami, dan mengamalkan nilai-nilai luhur dari kebudayaan yang kita miliki. (*)

Add Comment