Legislator NasDem Desak Pemerintah Respons Cepat Kebijakan Tarif 0% AS untuk 4 Negara ASEAN

JAKARTA (29 Oktober): Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Asep Wahyuwijaya, menyoroti kebijakan Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump yang berencana memberlakukan tarif impor 0% bagi empat negara Asia Tenggara, yakni Vietnam, Kamboja, Thailand, dan Malaysia. Indonesia tidak termasuk dalam daftar penerima fasilitas tarif tersebut dan masih dikenakan tarif 19% untuk beberapa komoditas ekspor ke pasar AS.

Menurut legislator Partai NasDem itu, perubahan kebijakan tarif dagang tersebut harus menjadi peringatan serius bagi Indonesia karena berpotensi menggerus daya saing produk ekspor nasional, terutama di sektor manufaktur yang selama ini sangat bergantung pada pasar Amerika Serikat.

“Pemerintah Indonesia tidak boleh bersikap pasif. Perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap strategi diplomasi dagang kita, terutama dalam kerangka perjanjian perdagangan bilateral maupun multilateral. Jika negara-negara tetangga menikmati tarif 0%, maka posisi ekspor kita otomatis akan melemah,” tegas Asep dalam keterangannya, Rabu (29/10/2025).

Lebih lanjut, anggota legislatif dari Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) itu mendorong pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, untuk segera melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah Amerika Serikat agar Indonesia juga memperoleh fasilitas tarif preferensial serupa.

“Pemerintah harus aktif melakukan diplomasi dagang. Di sisi lainnya pun harus memastikan kepentingan industri nasional dan para eksportir kita terlindungi. Untuk itu diperlukan langkah-langkah strategis pemerintah untuk memperkuat posisi tawar Indonesia dalam forum perdagangan internasional,” tambahnya.

Asep juga menilai, selain diplomasi ekonomi, Indonesia perlu melakukan introspeksi dan pembenahan internal dalam kebijakan perdagangan dan industri.

“Selain harus melakukan perluasan pasar lain, jika kita masih berharap pada pasar Amerika Serikat, maka pelajari mengapa empat negara tetangga kita itu mendapatkan tarif resiprokal yang menguntungkan tapi Indonesia tidak. Ada pelajaran penting dari situ,” ujarnya.

Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu juga memperingatkan bahwa ketimpangan tarif dapat memicu relokasi industri dari Indonesia ke negara-negara yang mendapat fasilitas tarif rendah, karena investor global tentu akan mencari lokasi produksi yang lebih efisien.

“Apabila Indonesia tidak segera merespons, bukan tidak mungkin pabrik-pabrik multinasional yang kini beroperasi di Indonesia akan memindahkan basis produksinya ke Vietnam atau Malaysia. Dampaknya akan langsung terasa pada penyerapan tenaga kerja dan penerimaan negara,” jelasnya.

Selain langkah diplomatik, Asep juga menekankan pentingnya penguatan daya saing industri dalam negeri, termasuk melalui insentif fiskal, efisiensi logistik, dan peningkatan kualitas SDM industri. Ia menambahkan, kebijakan perlindungan pasar domestik dengan pendekatan proporsional juga diperlukan.

“Hambatan tarif impor kita bisa menjadi instrumen proteksi yang diimbangi dengan penguatan pasar lokal serta peningkatan kualitas barang dengan harga terjangkau,” jelasnya.

Asep menegaskan, Indonesia harus mampu membangun strategi industrialisasi yang tangguh dan adaptif .

“Kita tidak bisa hanya mengeluh atas kebijakan luar negeri negara lain. Indonesia harus memastikan bahwa biaya produksi, kualitas produk, dan efisiensi rantai pasok kita mampu bersaing. Kami akan terus mengawal agar kebijakan industri nasional berpihak pada produsen dalam negeri,” pungkasnya. (RO/*)

Add Comment