Wakaf Uang dan Spirit Sumpah Pemuda, Momentum Kebangkitan Kolektif

Oleh Ayep Zaki

(Pegiat Wakaf Uang, Praktisi Ekonomi Umat)

 

TANGGAL 28 Oktober selalu mengingatkan bangsa ini pada ikrar sakral para pemuda tahun 1928: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.

Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa historis, melainkan energi moral untuk terus memperjuangkan kemandirian bangsa.

Dulu perjuangan dilakukan dengan bambu runcing dan pena, kini perjuangan itu menuntut transformasi ekonomi, kemandirian finansial, dan keadilan sosial.

Spirit Sumpah Pemuda hari ini harus diterjemahkan ke dalam gerakan ekonomi umat yang kuat dan berkelanjutan. Salah satu instrumen strategis yang sesuai dengan nilai keikhlasan, gotong royong, dan keadilan sosial adalah wakaf uang.

Instrumen Kemandirian Ekonomi Umat

Wakaf uang bukan sekadar ibadah sosial, melainkan financial instrument yang mampu menciptakan keberlanjutan ekonomi berbasis nilai.

Dengan regulasi yang jelas melalui UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, PP No. 42 Tahun 2006, dan dukungan Peraturan BWI dan DSN-MUI, wakaf uang kini bisa dikelola secara profesional, transparan, dan produktif.

Setiap rupiah wakaf uang memiliki kekuatan mengganda: abadi dalam nilai, produktif dalam manfaat. Ketika dikelola dengan prinsip wakaf produktif, dana ini dapat diinvestasikan ke instrumen syariah seperti sukuk negara, sukuk korporasi, CWLS (Cash Waqf Linked Sukuk), CWLD (Cash Waqf Linked Deposit), atau sektor riil yang menumbuhkan pelaku usaha mikro. Keuntungan hasil pengelolaan disalurkan kembali untuk pemberdayaan sosial, pendidikan, kesehatan, dan UMK tanpa mengurangi pokoknya.

Dari Idealisme Pemuda ke Gerakan Ekonomi

Pemuda hari ini tidak hanya ditantang untuk bersumpah tentang identitas, tetapi juga untuk berikrar atas kemandirian ekonomi bangsanya sendiri. Melalui gerakan wakaf uang, pemuda dapat berperan sebagai penggerak transformasi finansial yang berlandaskan nilai spiritual.

Bayangkan jika satu juta pemuda Indonesia mewakafkan Rp100.000 saja setiap bulan. Maka akan terkumpul dana abadi Rp100 miliar per bulan, sebuah dana kedaulatan ekonomi umat yang dapat menghidupi ribuan UMK melalui skema Qardhul Hasan, membantu pesantren, membantu kaum dhu’afa, dan memperkuat ketahanan sosial masyarakat.

Inilah bentuk baru “Sumpah Pemuda Ekonomi”: satu visi kesejahteraan, satu semangat kemandirian, satu aksi wakaf produktif.

Menuai Berkah Tanpa Henti

Dalam konsep ekonomi wakaf, giving never ends (tak pernah berhenti memberi). Nilai kebaikan terus berputar, menciptakan rantai keberkahan yang tidak terputus. Wakaf uang adalah jihad ekonomi yang menjadikan setiap pemuda bukan sekadar konsumen global, tetapi produsen kebaikan.

Momentum Hari Sumpah Pemuda harus menjadi titik balik untuk mengubah paradigma: dari charity-based movement menuju investment-based philanthropy (filantropi berbasis investasi). Gerakan ini bukan sekadar berbagi, melainkan membangun sistem ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Wakaf uang adalah jembatan antara iman dan pembangunan, antara spiritualitas dan kemandirian nasional. Jika Sumpah Pemuda 1928 melahirkan Indonesia Merdeka, maka Sumpah Pemuda Ekonomi melalui Wakaf Uang akan melahirkan Indonesia Berdaulat dan Makmur.

“Bangsa yang besar bukan hanya yang mengenang perjuangan, tetapi yang melanjutkan perjuangan dengan cara yang relevan di zamannya.”

Selain Pegiat Wakaf Uang, Praktisi Ekonomi Umat, penulis adalah Wali Kota Sukabumi, Anggota Bidang Pertanian, Peternakan dan Kemandirian Desa DPP Partai NasDem.

(*/WH/GN)

Add Comment