Nurhadi Soroti Kegaduhan Uji Kompetensi Mahasiswa Kesehatan
JAKARTA (19 November): Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Nurhadi, menyoroti polemik pelaksanaan uji kompetensi (ukom) mahasiswa kesehatan. Ia menegaskan bahwa hingga kini belum ada sinkronisasi sistem hukum antara Kementerian Kesehatan dan Kemendikbudristek dalam penyelenggaraan ukom, meskipun sudah menjadi mandat PP No. 28/2024.
“Kami memandang belum ada sinkronisasi. Padahal sudah diamanatkan jelas oleh PP 28 Tahun 2024 dan ditegaskan dalam ukom,” ujar Nurhadi dalam RDP Komisi IX DPR dengan Kementerian Kesehatan dan Kemendikbudristek, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/11/2025).
Nurhadi meminta pemerintah menjamin tidak terjadi lagi duplikasi kebijakan, perbedaan standar, serta tumpang tindih kewenangan.
“Mulai periode ukom berikutnya jangan ada lagi kebingungan siapa yang mengatur apa,” tegasnya.
Ia juga menyoroti ketidakjelasan komposisi penilaian kelulusan ukom. Pemerintah dinilai perlu menentukan apakah formula lama (60% nilai ukom, 40% nilai kampus) masih berlaku atau telah bergeser menjadi 40% nilai ukom dan 60% nilai kampus.
“Menjadikan hukum sebagai satu-satunya penentu kelulusan adalah langkah yang tidak berkeadilan,” katanya.
Menurutnya, mahasiswa kesehatan menempuh proses panjang mulai dari teori, praktik laboratorium, praktik klinik, hingga pendidikan profesi. Karena itu, menggantikan seluruh proses tersebut dengan satu ujian tunggal dinilai merugikan. “Ini bisa menzalimi peserta didik,” ujar Nurhadi.
Ia juga menegaskan bahwa penyelenggaraan ukom harus sesuai dengan UU No. 17/2023, yakni melibatkan universitas dan kolegium. Nurhadi mempertanyakan kebijakan Kemendikbudristek yang memasukkan asosiasi sebagai perwakilan. “Ini membuka ruang monopoli kewenangan dan potensi konflik kepentingan,” paparnya.
Selain itu, Nurhadi menyoroti potensi dropout sekitar 1.500 mahasiswa pada Desember mendatang akibat aturan ukom yang dinilai belum matang dan tidak memiliki payung hukum kuat. Ia mengingatkan bahwa kebijakan yang belum siap dapat memicu tekanan mental, stres, depresi, dan kecemasan pada mahasiswa. “Jangan sampai ukom justru menambah angka masalah kesehatan mental,” ujar Nurhadi.
Menutup paparannya, ia menegaskan bahwa bila ada kampus kesehatan yang tidak layak, maka yang harus diperbaiki adalah sistem akreditasi dan perizinannya—bukan mahasiswa yang harus dikorbankan. Ia meminta pemerintah memberikan jawaban yang jelas, terukur, dan berbasis timeline.
“Hukum nasional ini harus berjalan dengan satu standar, satu komando, dan satu tujuan: mencetak tenaga kesehatan bermartabat dan terpercaya,” pungkas legislator Partai NasDem itu. (Yudis/*)