Persoalan Utama Penerimaan Negara Terletak pada Buruknya Birokrasi Perpajakan
JAKARTA (24 November): Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi NasDem, Thoriq Majiddanor, menegaskan bahwa persoalan utama penerimaan negara bukan hanya soal regulasi, tetapi akar masalahnya terletak pada buruknya birokrasi perpajakan.
Dalam RDP Komisi XI DPR dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/11/2025), ia menyoroti secara keras praktik birokrasi yang dinilai tidak adil, tidak efisien, dan sering tidak memanusiakan manusia.
Jiddan, sapaan Thoriq Majiddanor, mengungkapkan bahwa di banyak daerah, termasuk Jawa Timur, jabatan-jabatan strategis di lingkungan perpajakan terlalu lama diduduki oleh pejabat yang sama sehingga membuka ruang inkonsistensi kebijakan.
“Birokrasi ini mesti Bapak perbaiki dulu. Sebelum punya aturan apa pun, birokrasinya harus beres dulu,” ujarnya.
Ia mencontohkan praktik penagihan pajak yang tidak masuk akal. Banyak wajib pajak dengan tunggakan besar, hingga puluhan miliar rupiah, diperbolehkan mencicil hanya Rp1 juta per bulan.
“Terus kapan selesainya, Pak? Di sisi lain, wajib pajak yang patuh justru dihajar terus-terusan,” tegas Jiddan.
Selain menyorot etika birokrasi, Thoriq meminta ruang negosiasi informal antara wajib pajak dan petugas pajak ditutup melalui sistem nasional yang ketat.
Menurutnya, keterbukaan celah-celah seperti ini menjadi sumber ketidakpastian, ketidakadilan, sekaligus merusak integritas perpajakan.
“Birokrasi itu soal etika dan moral. Banyak birokrat di bawah Bapak ini tidak mengorangkan orang,” ucapnya.
Di luar persoalan birokrasi, Jiddan juga mengkritik tren penerimaan negara yang terlalu bergantung pada impor. Ia menyoroti PPN impor yang tumbuh 16,1 %, berlawanan dengan PPN dalam negeri yang hanya naik sekitar 3,2 %.
Kondisi itu disebutnya sebagai sinyal melemahnya konsumsi domestik sekaligus meningkatnya ketergantungan pada produk impor. Ia meminta DJP menjelaskan langkah strategis untuk mendorong penerimaan dalam negeri agar tidak rapuh terhadap fluktuasi luar negeri.
Sektor ekonomi digital juga menjadi perhatian serius. Dengan transaksi e-commerce yang hampir mencapai Rp487 triliun dan aktivitas kripto yang terus meluas, Thoriq menilai kontribusi pajak sektor ini masih jauh dari optimal.
Ia mendesak penertiban pelaku, pedagang kripto yang tidak teregistrasi, serta penyusunan skema pajak baru yang mampu menangkap laju pertumbuhan digital tanpa membebani inovasi.
Pada sektor lain, Jiddan menyoroti minimnya kontribusi pajak pertanian yang hanya sekitar 1 % meski menyumbang lebih dari 13 % PDB. Ia menanyakan kemungkinan skema pajak final hortikultura, perluasan basis pajak koperasi tani, hingga integrasi data subsidi pupuk sebagai strategi memperluas kontribusi tanpa membebani petani kecil.
Di akhir paparannya, ia juga mempertanyakan efektivitas implementasi sistem Coretax yang hingga kini baru diaktivasi oleh 65 % wajib pajak.
Ia mengingatkan jangan sampai Coretax menjadi proyek besar yang tidak memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kepatuhan.
“Kalau ASN saja harus dipaksa lewat edaran untuk mengaktifkan akun, bukankah ini indikasi sistemnya kurang user friendly?” kritiknya. (Yudis/*)