Fraksi NasDem DPRD Jatim Dorong Penguatan Satpol PP dalam Revisi Perda Trantibum
SURABAYA (27 November): Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan Kedua atas Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Pelindungan Masyarakat (Trantibum) terus berlanjut di DPRD Jawa Timur. Dalam rapat paripurna di Gedung DPRD Jatim, di Surabaya, Selasa (25/11), Fraksi Partai NasDem DPRD Jatim menilai revisi perda tersebut menjadi ikhtiar untuk memperkuat kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Juru bicara Fraksi Partai NasDem DPRD Jatim, Haris Wicaksono Wibowo, mengatakan perubahan regulasi itu harus mengarah pada peningkatan kapasitas Satpol PP sebagai garda terdepan penegakan perda.
“Dari sisi politik hukum daerah, Fraksi Partai NasDem memandang bahwa perubahan perda ini merupakan momentum untuk memperkuat kapasitas Satpol PP sebagai ujung tombak penegakan perda,” kata Haris.
Namun, kata anggota DPRD Jatim asal Dapil Jawa Timur XI (Nganjuk-Madiun) tersebut, pendapat Gubernur Jatim terkait Raperda tersebut belum secara tegas menyinggung kebutuhan peningkatan sumber daya manusia, penggunaan teknologi informasi, integrasi pangkalan data hingga pengembangan unit analisis digital untuk memantau dan menindak gangguan di ruang siber.
“Tanpa penguatan kelembagaan, Raperda ini akan sulit diimplementasikan secara efektif karena beban penegakan semakin kompleks, sementara kapasitas di lapangan tidak bertambah signifikan,” tegasnya.
Fraksi Partai NasDem juga menyoroti wacana pembentukan relawan digital dalam penegakan ketertiban masyarakat. Haris menekankan bahwa relawan digital hanya boleh difungsikan sebagai penyampai informasi, penggerak literasi, dan pelapor, bukan sebagai pelaksana penegakan hukum.
“Tanpa batas kewenangan yang jelas, relawan digital berpotensi menciptakan praktik persekusi, vigilantisme, atau tindakan represif berbasis moralitas subjektif yang bertentangan dengan prinsip negara hukum,” ujarnya.
Menurut Haris, perubahan regulasi itu tidak lagi dapat dipandang sebagai pembaruan administratif semata, tetapi sebagai respons fundamental terhadap perubahan sosial yang semakin cepat, kompleks, dan berpotensi mengancam integritas sosial di Jawa Timur.
Menanggapi isu judi online dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang menjadi salah satu alasan perubahan Perda, Fraksi Partai NasDem menilai pendekatan yang diperlukan tidak cukup hanya berupa patroli digital.
“Persoalan ini bersumber dari ketidaksiapan masyarakat menghadapi ekosistem digital, lemahnya literasi keuangan, kurangnya regulasi preventif yang menahan laju aplikasi ilegal, serta absennya mekanisme perlindungan bagi keluarga yang terdampak,” paparnya.
Haris menyebut banyak warga yang terjerat utang, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, hingga kehilangan harta benda akibat tekanan ekonomi. Oleh karena itu, Fraksi Partai NasDem menilai raperda harus memasukkan langkah-langkah yang lebih humanis dan komprehensif.
“Raperda harus memberikan kerangka yang mengatur edukasi publik, pendampingan keluarga terdampak, serta mekanisme kanal aduan khusus di level provinsi yang terintegrasi dengan aparat penegak hukum. Tanpa langkah-langkah preventif dan kuratif, penindakan semata hanya akan menyentuh permukaan tanpa menyelesaikan luka sosial yang lebih dalam,” urainya.
Terkait fenomena penggunaan sound horeg atau pengeras suara berdaya tinggi, Fraksi Partai NasDem menilai persoalan tersebut bukan lagi sekadar urusan ketertiban.
“Banyak masyarakat mengeluhkan tidak adanya parameter pasti dalam penegakan larangan penggunaan pengeras suara sehingga aparat sering kali ragu menindak, atau justru terjadi ketegangan sosial antarwarga,” tuturnya.
Karena itu, Fraksi Partai NasDem menekankan perlunya pengaturan teknis yang jelas dalam revisi perda.
“Tanpa pengaturan teknis yang jelas, aparat Satpol PP akan kembali bekerja berdasarkan persepsi subjektif yang berpotensi menimbulkan konflik antara aparat dan masyarakat,” pungkas Haris.
(WH/KL)