Ketika Narasi Mengalahkan Senjata: Wajah Baru Konflik Global
Oleh: Mohsen Hasan Alhinduan – Anggota Dewan Pakar DPP Partai NasDem
DI era digital, peperangan tidak lagi selalu hadir dalam bentuk tank, misil, atau pasukan bersenjata. Ada medan yang jauh lebih halus, tetapi dampaknya lebih dalam dan bertahan lama: medan kesadaran. Di ruang inilah opini dibentuk, persepsi diarahkan, dan identitas perlahan digeser tanpa suara ledakan.
Sejumlah analis hubungan internasional dan keamanan siber mencatat bahwa konflik modern kini banyak dijalankan melalui rekayasa wacana, bukan konfrontasi langsung. Aktor-aktor global tertentu menyadari bahwa memecah belah dari dalam jauh lebih efektif daripada menyerang dari luar.
Fragmentasi sebagai Strategi
Dalam banyak konflik kontemporer, yang disasar bukan hanya wilayah atau kekuatan militer, melainkan kohesi sosial. Umat atau komunitas besar tidak dihancurkan secara frontal, tetapi diurai sedikit demi sedikit melalui:
- Polarisasi identitas
- Pertentangan internal
- Saling curiga antarkelompok
- Delegitimasi simbol dan keyakinan
Ketika sebuah komunitas sibuk bertengkar tentang siapa yang paling benar, paling murni, atau paling berhak maka energi kolektifnya habis sebelum sempat diarahkan pada kemajuan.
Narasi Islam sebagai ‘Masalah Global’
Salah satu gejala yang mencolok dalam dua dekade terakhir adalah penyempitan makna Islam di ruang publik global. Agama dengan spektrum pemikiran, budaya, dan sejarah yang luas sering direduksi menjadi citra tunggal: keras, tertutup, dan bermasalah.
Menariknya, citra ini tidak hanya dibangun dari luar, tetapi sering kali diproduksi ulang dari dalam, melalui suara-suara yang tampak ‘internal’ tetapi membawa pesan yang selaras dengan agenda eksternal.
Di sinilah Islamofobia tidak selalu tampil kasar; ia hadir halus, sistematis, dan berulang, hingga akhirnya dianggap wajar.
Teknologi, Anonimitas, dan Operasi Psikologis
Kemajuan teknologi informasi membuka peluang besar bagi operasi yang tidak memerlukan kehadiran fisik. Dengan anonimitas digital, satu pusat kendali dapat melahirkan ribuan suara yang tampak berbeda, tetapi bergerak dalam satu irama.
Bukan untuk menciptakan kebenaran, melainkan kebisingan. Bukan untuk berdialog, tetapi melelahkan publik. Bukan untuk menyatukan, tetapi mengaburkan batas antara fakta dan persepsi.
Dalam situasi seperti ini, kebencian tidak perlu diciptakan dari nol, cukup diarahkan, diperbesar, dan dipelihara.
Ketika Umat Bertengkar, Agenda Lain Berjalan
Sejarah menunjukkan bahwa tidak ada peradaban besar yang runtuh semata-mata karena serangan luar. Yang lebih sering terjadi adalah erosi internal: hilangnya kepercayaan, pudarnya solidaritas, dan retaknya identitas bersama.
Ketika umat Islam saling meragukan, saling melabeli, dan sibuk menguliti perbedaan, maka ruang untuk narasi eksternal yang merugikan terbuka lebar. Islamofobia global tidak tumbuh di ruang hampa; ia menemukan momentumnya ketika umat gagal menjaga nalar dan kedewasaan kolektif.
Kesadaran sebagai Benteng Terakhir
Dalam konteks ini, kesadaran bukan sekadar pengetahuan, tetapi kewaspadaan etis dan intelektual. Bukan untuk mencurigai segalanya, tetapi untuk:
- Memilah informasi
- Menunda emosi
- Menguji narasi
- Dan menjaga adab dalam perbedaan
Perang paling berbahaya bukan yang menghancurkan kota, tetapi yang mengubah cara kita memandang diri sendiri dan sesama.
Jika identitas dapat dipisahkan dari nilai, jika iman dapat dipertentangkan dengan akal, dan jika perbedaan dapat diubah menjadi permusuhan, maka tujuan tercapai tanpa satu peluru pun dilepaskan.
Penutup reflektif:
Tidak semua konflik yang kita lihat adalah milik kita. Tidak semua kemarahan yang kita rasakan lahir dari kesadaran murni.
Di zaman ini, berpikir jernih adalah bentuk perlawanan, dan menjaga persatuan batin umat adalah jihad intelektual yang sering dilupakan.
Jakarta, 18 Desember 2025
(WH/AS)