NasDem Komunikasikan 5 Keluhan TKI Malaysia
KUALA LUMPUR, MALAYSIA (7 April): Fraksi NasDem Komisi IX DPR RI yang dipimpin Irma Suryani yang membawa delegasi Amelia Anggraini dan Aly Mahir melaksanakan fungsi kontrol DPR RI dengan mengunjungi KBRI Malaysia, Migran Care dan rumah perlindungan wanita Kuala lumpur pada 2-6 April 2017.
Dalam kunjungan ke KBRI di Kuala Lumpur pada Selasa (4/4), delegasi Fraksi NasDem Komisi IX diterima Plt Duta Besar untuk Malaysia Andreano Erwin, Atase Tenaga Kerja (Atnaker) Mustafa Kamal, dan Yusron yang menangani perlindungan TKI.
Pada kesempatan tersebut, Irma dan delegasi menyampaikan 5 keluhan TKI yang disampaikan baik oleh para TKI maupun dari Migran Care, pro-TKI maupun dari SBMI untuk dapat dikomunikasikan kepada para pemangku kepentingan.
Menurut Irma, hal yang pertama ialah terkait keberadaan PT OMNI sebuah perusahaan Malaysia yg beroperasi di Indonesia, dimana perusahaan ini menjadi vendor KBRI Kuala lumpur dalam pengurusan Visa TKI.
"Keberadaan perusahaan ini dirasa sangat memberatkan dan menambah beban cost struktur TKI, sebelum ada perusahaan ini, TKI hanya membayar Rp55.000 untuk biaya visa. Setelah ada vendor PT OMNI biaya pembuatan Visa TKI menjadi sebesar Rp850.000. Kenaikan yang sangat fantastis dan luar biasa," kata Irma dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (7/4).
Menurutnya, hal yang membingungkan ialah persetujuan Pemerintah Indonesia atas keberadaaa perusahaan Malaysia ini yang disinyalir menjadi ATM bagi para oknum baik Indonesia maupun Malaysia.
Hal yang kedua, lanjut Irma, ialah keberadaan PT Iman, perusahaan sejenis OMNI yang berkedudukan di Malaysia. Perusahaan ini menjadi vendor pengurusan pemulangan TKI ilegal.
"Keanehan yang pertama ialah perusahaan ini memungut fee pemulangan 500 RM per orang, sementara biaya pemulangannya sendiri cuma 400 RM. Keanehan kedua adalah, bukankah deportasi TK ilegal adalah sepenuhnya merupakan kewajiban negara yang mendeportasi? Lalu kenapa Pemerintah Indonesia malah yang mengambil alih beban biaya deportasi tersebut?" tanyanya.
Kecuali pemulangan TKI ilegal tersebut memang merupakan permintaan Indonesia. Ia menilai hal yang merupakan kebijakan Malaysia, yaitu mendeportasi, seharusnya tidak menjadi tanggung jawab Pemerintah indonesia.
Ketiga, terkait maraknya TKI ilegal dan segudang permasalahan nya di Malaysia. Menurut Irma dan kawan kawan, maraknya TKI ilegal tidak lepas dari lemahnya kontrol Pemerintah, terutama imigrasi dan aparat pelabuhan serta bandara.
"Sebesar apapun biaya pemulangan disediakan Pemerintah, jika Lubang-lubang keberangkatan ilegal tidak ditutup, yang terjadi justru fraud atau korupsi," ungkap Irma lagi.
Ia mencurigai program pemulangan TKI hanya untuk cari uang oknum-oknum terkait karena lubang-lubang pemberangkatan ilegal dibiarkan terbuka.
Selain itu, TKI yang bermasalah dengan majikan dan perusahaan juga menjadi satu tugas berat KBRI Kuala lumpur untuk segera mencari terobosan baru dengan tidak serta merta menstempel persetujuan dengan Kementerian Dalam Negeri Malaysia dalam mengeluarkan job order.
Irma secara tegas meminta Atnaker untuk meninjau lebih dulu cashflow perusahaan untuk menghindari perusahaan tidak lari dari tanggung jawab membayar gaji, fasilitas kerja, keamanan kerja dan kontrak kerja yang sesuai dengan kontrak awal. Sebab banyak kontrak kerja yang tidak sesuai atau agen membuat dua kontrak kerja, satu versi perekrutan dan yang digunakan justeru kontrak baru setelah TKI berada di Malaysia oleh agen setempat.
"Alhamdulilah Bapak Mustafa Kamal selaku Atnaker berjanji akan melaksanakan verifikasi yang ketat terkait job order yang dikeluarkan Kementrian Dalam Negeri Malaysia dalam rangka meminimalisasi buruh paksa dan human trafficking," tutur Irma.
Hal keempat yang dilaporkan delegasi Fraksi NasDem ialah penyalahgunaan kontrak. Banyak kontrak kerja awal tidak sesuai baik dari sisi wilayah kerja, jam kerja dan jabatan kerja. Dalam kontrak awal bekerja sebagai buruh pabrik elektronik, ternyata dipekerjakan sebaggi pekerja rumah tangga. Di kontrak wilayah kerjanya di Kuala lumpur, ternyata dipekerjakan di Selangor, dan lain sebagainya.
Hal kelima, lanjut Irma, ialah tentang program E-Kad, kartu ini berfungsi sebagai exit permit sementara. Menurut informasi kartu ini dapat diperoleh secara gratis, namun faktanya di lapangan kartu ini juga dijadikan modus oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dengan menarik biaya sekitar 50 RM.
Niat baik program kartu ini ialah untuk mempermudah TKI yang ingin membuat paspor namun dampak negatif dari kartu ini justru menjadi alat legalitas bagi TKI ilegal untuk bisa bikin paspor dan bisa bekerja. Dengan memiliki E-Kad, imigrasi bisa membuatkan paspor bagi para TKI ilegal tersebut
"Menurut saya dengan adanya program ini justeru akan bertambah marak masuknya TKI ilegal ke negeri jiran karena lubang-lubang tempat keberangkatan TKI ilegal tetap saja dibiarkan terbuka," ulasnya.
Pada kesempatan itu pula, Irma, Amelia dan Aly Mahir juga menyempatkan untuk meminta penjelasan terkait Kasus PT Buruh Maxim yang saat ini sedang ditangani oleh pihak berwajib Malaysia. Perusahaan tersebut, seperti disampangkan Alex Ong dari Maigran Care Malaysia, mendapat tuduhan human trafficking. Perusahaan ini bekerja sama dengan PPTKIS (PT Sofia Sukses Sejati) yang berkedudukan di Semarang Jawa tengah.
Ke depan guna meminimalisasi praktik buruh paksa dan human trafficking, Irma meminta agar Atnaker jangan hanya memberikan stempel pada job order berdasarkan dokumen saja, namun verifikasi terhadap cash flow, kondisi tempat kerja dan fasilitas penunjang lainnya juga wajib diverifikasi secara langsung. Sebab banyak kejadian TKI bekerja tdk sesuai kontrak dan perbudakan atau kerja di atas 8 jam per hari.
"Alhamdulilah semangat gerakan perubahan dan komitmen yang sama dimiliki KBRI Kuala lumpur memberikan harapan baru akan adanya perbaikan kebijakan, sehingga kasus-kasus yang selama ini terjadi dapat diminimalkan," tutup Irma. (*)