NasDem Ingatkan Pemerintah Cegah Mafia Tanah di Kalimantan

JAKARTA (16 Juli): Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi NasDem, Hamdhani mengatakan pemerintah pusat perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah di Kalimantan yang wilayahnya bakal dijadikan Ibu Kota Negara dalam merancang aturan Perjanjian Penggunaan Lahan (PPL) untuk komersial.

Tujuannya, kata dia, adalah demi mencegah munculnya mafia tanah yang memanfaatkan banyaknya kebutuhan lahan pembangunan, untuk keuntungan ekonomi semata.

“Kalau tak segera diatur bakal muncul spekulan tanah, yang semata mengejar rente ekonomi, dan pada akhirnya merugikan masyarakat dan daerah,” kata dia, Senin (15/7).

Menurut Hamdani, di lapangan sangat mungkin terjadi pihak-pihak berduit, baik perorangan, maupun korporasi sudah bergerak berburu lahan, membeli dari rakyat untuk dikuasai. Kemudian pada saatnya nanti dijual dengan harga mahal kepada pihak tertentu yang membutuhkan lahan untuk pembangunan, bisa pemerintah, atau kalangan swasta.

Masih kata Hamdani, pemerintah dapat berkaca dari apa yang terjadi di Batam, Kepulauan Riau, yakni harga tanah bisa dikendalikan melalui Perjanjian Penggunaan Lahan. Di sana Badan Pengusahaan (BP) Batam mengatur pengalokasian lahan secara transparan dan akuntabel dengan sistem online.

“Semuanya melewati proses business matching, dilakukan dengan menandatangani Perjanjian Penggunaan Lahan atau sebelumnya disebut Surat Perjanjian,” kata dia.

Nantinya secara rutin BP mengevaluasi dan membuat laporan ssecara perodik. Dari eveluasi itu bisa diketahui seberapa luas lahan tidur, dan berapa yang sudah atau belum dimanfaatkan. Juga ada data lokasi dan pemilik lahan.

Dengan data rinci itu, Hamdani meyakini pemerintah dapat menentukan penggunaan lahan selanjutnya yang produktif bagi pembangunan, untuk kepentingan masyarakat, atau komersial semata.

“Kalau itu konsisten dijalankan dan dipatuhi, bakal efektif memberantas mafia lahan yang ada untuk kepentingan ekonomi semata,” kata Hamdhani lagi.

BP Batam mengeluarkan pengumuman alokasi lahan lewat website BP Batam atau secara lelang online. Dalam website itu, ada informasi mengenai lahan yang belum dialokasikan. Di antaranya, lokasi, luas, peruntukan, kondisi, syarat-syarat, dokumen, metode alokasi lahan dan bentuk rencana bisnis. Itu semuanya harus dipenuhi oleh pemohon alokasi lahan.

Dengan data lahan yang diperoleh lewat lelang online itu, BP melakukan evaluasi, yang menjadi dasar bagi pemohon alokasi lahan mengurus Surat Keputusan (Skep), faktur tagihan Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) alokasi lahan. Lainnya, faktur tagihan terkait lainnya, surat pemberitahuan, gambar Penetapan Lokasi (PL), Perjanjian Penggunaan Lahan (PPL) dan surat rekomendasi atas hak tanah.

Proses selanjutnya, bagi pemohon alokasi lahan baru, diwajibkan membayar Jaminan Pelaksanaan Pembangunan (JPP) yang diatur Keputusan Kepala BP. Nilainya dihitung berdasarkan pada luas lahan, lokasi, peruntukan lahan dan kondisi perekonomian terkini. Tentu beda nilainya untuk pembangunan kepentingan umum, dengan lahan komersial.

JPP akan dikembalikan secara bertahap. Mulai dari 30% saat perencanaan pembangunan lahan, 30% saat konstruksi pembangunan dan 40% saat penyelesaian pembangunan.

Yang perlu diingat, kata Hamdani lagi adalah jika terjadi wanprestasi atau lahan belum dibangun sesuai PPL, maka BP akan melakukan proses evaluasi. Jika keputusannya ditetapkan untuk dibatalkan, JPP menjadi milik BP Batam.

“Pemerintah pusat, dan daerah di Kalimantan yang wilayahnya disiapkan untuk pemindahan ibu kota negara yang baru, bisa segera mengadopsi Perjanjian Penggunaan Lahan di Batam itu, agar mencegah merebaknya mafia lahan di daerah,” pungkas anggota DPR RI 2014-2019 asal Kalimantan Tengah ini.(*)

Add Comment