Fraksi NasDem Terima Delegasi Uni Eropa Bahas Isu HAM
JAKARTA (9 Agustus): Fraksi Partai NasDem DPR RI menerima perwakilan Uni Eropa (UE) yang dipimpin oleh Charles-Michel Geurts selaku kuasa usaha delegasi UE untuk Indonesia.
Anggota Komisi III DPR RI Teuku Taufiqulhadi menerima perwakilan UE tersebut, yang tediri dari perwakilan untuk negara Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda.
Taufiq mengatakan bangsa Indonesia telah lama menginginkan RUU KUHP sebagai produk UU yang sangat penting dan dihasilkan oleh anak bangsanya. Ia melihat KUHP yang selama digunakan merupakan peninggalan dari masa kolonial.
“Hal ini sangat penting karena setelah merdeka, Indonesia telah memiliki ideologi Pancasila, yang harus mempertimbangkan kesetaraan, pemerataan, dan perlindungan bagi karakter majemuk bangsa ini,” ungkap Taufiq di Ruang Rapat Fraksi NasDem DPR RI Jakarta, Kamis (8/8).
Taufiq yang juga anggota panitia kerja (panja) RUU KUHP memberikan penjelasan bahwa RUU KUHP hanya membutuhkan satu kali sidang dan dapat disahkan dalam rapat paripurna.
Menanggapi hal tersebut, Geurts mengatakan bahwa negara-negara UE memiliki nilai tradisional yang juga menjadi nilai dalam hukum pidana. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah upaya yang luar biasa untuk membangun keteraturan sosial.
“Dari pengalaman kami di EU, nilai tradisional tidak berseberangan dengan nilai universal, tapi justri saling melengkapi atau komplementer,” kata Geurts.
Pada kesempatan itu Geurts hadir bersama Charles-Henri Brosseau konselor utama kedutaan besar Prancis, Roy Spijkerboer staf penasihat bagian politik kedutaan Belanda, Robb Fenn selaku wakil duta besar Inggris dan Martin Eberts wakil kepala bidang politik kedutaan Jerman.
Kedatangan para perwakilan UE tersebut membahas sejumlah isu dalam RUU KUHP yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Seperti yang diutarakan Charles-Henri Brosseau konselor utama kedutaan besar Prancis menanyakan putusan hukuman mati dalam RUU KUHP dalam keterkaitannya dengan pembahasan di PBB yang akan menekankan perlunya moratorium hukuman mati.
“Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan sepakat dengan hukuman mati. Tapi kami sudah melihat hukuman mati disebut sebagai hukuman alternatif. Kami mengapresiasi perkembangan ini,” kata Brosseau.
Menanggapi hal itu, Taufiqulhadi menerangkan bahwa hukuman mati dalam KUHP lama merupakan hukuman pokok, sedangkan dalam RUU KUHP saat ini sebagai hukuman alternatif.
“Meski demikian, tidak berlaku surut atau retroaktif atas putusan yang telah diberikan kepada terpidana hukuman mati,” ungkapnya.*