Soal Uighur, NasDem Bela NU dan Muhammadiyah

JAKARTA (17 Desember): Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah adalah dua ormas Islam yang merupakan representasi Muslim Indonesia dalam mewujudkan perdamaian dunia. Tudingan Wall Street Journal (WSJ) bahwa dua ormas Islam tersebut bersikap diam terhadap dugaan persekusi dan diskriminasi terhadap etnis minoritas Muslim Uighur, Cina, dinilai sangat politis.

Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Willy Aditya mengatakan itu di Jakarta, Senin (16/12). Dia menanggapi pemberitaan yang menghangat di Tanah Air mengenai dugaan persekusi terhadap etnis minoritas Muslim Uighur. Wall Street Journal (WSJ) menuding NU dan Muhammadiyah bersikap diam dalam kasus di wilayah Xinjiang itu. Wall Street bahkan menuduh kedua ormas Islam Indonesia itu menerima uang lewat bantuan dan donasi yang digelontorkan pemerintah Tiongkok. 

Di sisi lain, sejumlah pihak mendesak pemerintah Indonesia bersikap atas kondisi yang terjadi terhadap warga Uighur. Mereka mengatakan, pemerintah cenderung pasif terhadap kasus Uighur karena banyaknya investasi Cina di Indonesia. 

Menurut Willy, NU dan Muhammadiyah pernah melakukan observasi dan mengumpulkan langsung data dan fakta terkait masalah di Uighur. Mereka bahkan berhasil mendesak pembukaan akses kunjungan ke fasilitas yang disebut kamp konsentrasi oleh media Barat, yang selama ini tertutup.

“Kedua ormas terbesar itu justru menunjukkan kelasnya sebagai aktor penjaga perdamaian dunia. Mereka sangat berhati-hati dalam bersikap dan mengesampingkan tendensi dan kepentingan pragmatis. Justru dengan tingginya interaksi dengan pemerintah Cina, Indonesia bisa mengajak Cina menemukan solusi-solusi damai,” jelas politisi NasDem tersebut. 

Willy menegaskan, Indonesia harus menjadi bagian dari solusi dalam upaya penyelesaian masalah Uighur. Seperti halnya dalam kasus Rohingya, Myanmar, menurutnya Indonesia harus mencari cara agar Tiongkok berani semakin terbuka terhadap apa yang dituduhkan dalam kasus di atas. 

“Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di Cina ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” tandasnya. 

Dia menjelaskan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya. Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga tidak bisa dinafikan. Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan antara Beijing dengan negara bagian Cina di wilayah barat ini.

“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa, yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan Tiongkok. Hal ini dihadapi oleh pemerintah Tiongkok dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan,” terangnya. 

Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, tidak bisa dilihat berdiri sendiri. UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai hubungan AS dan Cina.

Tiongkok sendiri, menurutnya, tidak pernah menjadikan kondisi HAM negara tujuan kerja sama, sebagai pertimbangan, apalagi sebagai cara untuk menundukkan negara tertentu dalam membangun kesepakatan bisnis. Hal ini sangat berbeda dengan Amerika yang dalam beberapa kasus persaingan bisnisnya, bisa bermanuver dengan isu HAM. Bahkan dalam UU Uighur ini, Amerika memberi legitimasi dan dorongan besar bagi media massanya untuk membuat laporan-laporan terkait kasus tersebut.

“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia. UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” ujarnya. 

Sikap Indonesia terhadap kasus Uighur, tambah Willy,  tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak. Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas. 

“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur, dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokan Cina, kemudian berubah total. Setelah tahun 2017 ini justru mendukung suara Cina karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tegasnya.*

Add Comment