Vonis Pembinaan Anak Didukung
JAKARTA (27 Januari): Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni mengakui sempat khawatir saat sidang vonis kasus pembunuhan begal yang digelar di Pengadilan Negeri Kepanjen, Malang, Jawa Timur, Kamis (23/1). Pasalnya, vonis itu harus diterima terdakwa yang masih pelajar kelas XII SMA.
Terlebih, dalam sidang sebelumnya, ZA, sang pelajar, juga dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa penuntut umum. Namun, Legislator Partai NasDem itu akhirnya bisa lega ketika majelis hakim yang dipimpin Nunu Defiary memutuskan menghukum ZA dalam bentuk pembinaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak, Malang.
"Sudah selayaknya kasus pidana yang melibatkan anak, proses hukumnya mengedepankan pembinaan. Terlebih jika tersangka atau terdakwa berada pada posisi membela diri atas perbuatan pidana yang dilakukan pihak lain," kata Sahroni, di Jakarta, Minggu (26/1).
Politisi NasDem itu menjelaskan kasus pembunuhan yang dilakukan sang pelajar karena terdakwa membela kekasihnya yang menjadi korban pembegalan. Dalam posisi tersebut, hakim dinilai telah berlaku bijaksana lewat keputusannya memvonis terdakwa dengan hukuman pembinaan.
"Benar bahwa dalam KUHP disebutkan bahwa penghilangan nyawa seseorang dapat dikenai sanksi pidana. Namun, penegak hukum dituntut arif untuk sangat bijak dalam menilai duduk persoalan yang sesungguhnya," jelasnya.
Legislator NasDem itu menilai, hakim telah menjalankan diskresi kewenangannya dengan tepat. Vonis itu juga bisa menjadi yurisprudensi dalam proses penegakan hukum ke depan sehingga dalam perkara-perkara sejenis, khususnya yang melibatkan anak, lebih mengedepankan rehabilitasi atau pembinaan ketimbang hukuman penjara.
Sahroni menegaskan hakim tidak perlu takut menggunakan diskresinya. Alasannya, menurut politikus dari Dapil Jakarta III hal tersebut sejalan dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Aturan itu mengizinkan hakim melakukan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
"Memang terbilang belum umum diterapkan, namun bisa menjadi bagian dari restoratif justice dalam sistem hukum pidana kita," tandasnya.(MI/BA/*)