Langkah Antisipasi Bencana Harus Dipahami Masyarakat
JAKARTA (21 Oktober): Seluruh elemen bangsa perlu disiapkan untuk memahami strategi antisipatif dalam menghadapi berbagai kemungkinan dampak bencana.
"Sebenarnya kita bisa belajar dari pengalaman menghadapi bencana yang pernah terjadi. Pada bencana tsunami di Aceh beberapa tahun lalu, muncul inisiatif masyarakat membentuk gerakan kemanusiaan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring yang digelar Forum Diskusi Denpasar Duabelas, bertema Waspada Bencana di Tengah Pandemi, Rabu (21/10).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah itu, dihadiri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Elestianto Dardak, Deputi Operasi Pencarian, Pertolongan, dan Kesiapsiagaan Badan SAR, Mayjen TNI (Mar) Bambang Suryo Aji dan Dwikorita Karnawati, Kepala Pusat BMKG, sebagai narasumber.
Selain itu, hadir juga Nurhadi, anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi NasDem, dan Gaudensius Suhardi, Direktur Pemberitaan Media Indonesia sebagai penanggap dalam diskusi tersebut.
Menurut Lestari, tugas kita saat ini, adalah bagaimana gerakan kepedulian yang dibentuk masyarakat diintegrasikan dalam sebuah sistem dan membentuk sebuah ekosistem yang mampu menjadi kekuatan dalam menghadapi bencana.
Lebih dari itu, Rerie, sapaan akrab Lestari, juga mendorong adanya tata kelola dalam penanggulangan bencana, sehingga di masa datang kita memiliki sistem penanggulangan bencana yang baik.
Apalagi, jelas Legislator Partai NasDem itu, saat ini kita menghadapi pandemi Covid-19 yang terus memperlihatkan peningkatan kasus.
Di sisi lain di sejumlah wilayah di Tanah Air akhir-akhir terjadi banjir, tanah longsor bahkan gempa bumi. Kondisi itu diperparah lagi dengan perekonomian nasional yang saat ini memasuki resesi.
Menurut Rerie, kondisi-kondisi tersebut harus dicermati dengan baik dan diantisipasi dengan sistem yang tepat.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menegaskan, dalam penanggulangan bencana harus diterapkan sistem yang mengedepankan konsep pencegahan. Sehingga Kementerian LHK menggunakan istilah siaga darurat bencana dan meninggalkan istilah tanggap darurat bencana dalam mengantisipasi terjadinya bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Konsep penanggulangan dengan siaga darurat bencana, menurut Siti Nurbaya, mengandung makna antisipatif sebelum bencana terjadi.
Dengan konsep tersebut, katanya, Kementerian LHK mengupayakan penanggulangan Karhutla secara permanen.
"Dari sejumlah upaya penanggulangan Karhutla secara permanen itu seperti analisa iklim dan pengendalian operasional di lapangan, partisipasi masyarakat dalam menjaga lingkungan menjadi langkah yang sangat penting," ujar Siti Nurbaya.
Kepala Pusat BMKG, Dwikorita Karnawati menegaskan, semua pihak harus siap menghadapi multibencana di Tanah Air. Karena pengaruh La Nina, menurut Dwikorita, awan di atas Samudra Pasifik bergerak ke arah Indonesia.
Akibatnya, jelas dia, diprediksi akan terjadi peningkatan curah hujan 20%-40% di Tanah Air yang berpotensi menimbulkan banjir. Di sisi lain Indonesia dikelilingi gunung berapi, juga rawan gempa.
"Hadapi semua itu lewat langkah adaptasi terhadap potensi bencana yang dihadapi," ujar Dwikorita.
Menurut dia, dalam mengantisipasi bencana, BMKG juga sudah berupaya menyiapkan peringatan dini.
Tetapi terpenting, menurut dia, bagaimana masyarakat siap menyikapi prediksi dan peringatan dini yang disebarluaskan BMKG itu. Karena, tegas Dwikorita, pemahaman masyarakat yang baik terhadap cara menyelamatkan diri dari bencana sangat signifikan dalam menekan jumlah korban saat bencana terjadi.
Sedangkan anggota Komisi VIII DPR RI, Nurhadi menilai pembahasan RUU Penanggulangan Bencana di DPR secara filosofis menegaskan bahwa negara harus hadir dalam proses penanggulangan bencana. Karena secara geografis, kata Nurhadi, Indonesia adalah negeri yang rawan bencana dengan rangkaian gunung berapi yang melingkari Nusantara dan letaknya di antara dua samudera.*