Meluruskan Cara Pandang KPK

Oleh Willy Aditya*

Sejak akhir Agustus tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi telah
mengunjungi tujuh partai politik, yakni PDI Perjuangan, Partai Gerindra,
Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Hanura, Partai Demokrat, dan Partai
NasDem. Kunjungan tersebut dilakukan KPK untuk – merujuk bahasa sebuah
harian – “membantu integritas partai politik”. Kepada parpol-parpol
tersebut KPK menawarkan sebuah rumusan tentang sistem integritas parpol
yang secara singkat termaktub dalam frasa “politik cerdas dan
berintegritas”.

Pada rumusan yang dibuahkan sebagai hasil kerja samanya dengan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, KPK mengembangkan empat poin utama
dalam melihat integritas sebuah partai politik. Empat poin tersebut
adalah adanya standar etik, sistem rekrutmen yang jelas dan terukur,
sistem kaderisasi yang berjenjang, dan tata kelola keuangan.

Standar etik bertujuan untuk membangun kader-kader partai yang
berintegritas sekaligus mendorong sistem integritas di internal partai.
Di dalamnya terdapat indikator-indikator seperti misalnya: adanya
lembaga etik, standar kelaziman dalam berperilaku sebagai pengurus
partai, perlindungan terhadap whistle blower melalui ketentuan mengikat
yang diatur dalam aturan tertentu, serta pengaturan konflik kepentingan.

Sistem kaderirasi berisi indikator-indikator seperti panduan
kaderisasi, regulasi internal, implementasi sistem kaderisasi yang
inklusif dan berjenjang, adanya sistem monitoring, akses publik terhadap
sistem kaderisasi, dan adanya database keanggotaan partai.

Adapun terkait sistem rekrutmen, sistem integritas yang ditawarkan
oleh KPK memuat beberapa indikator seperti adanya panduan rekrutmen
politik yang berbasis kaderisasi yang inklusif, regulasi internal
tentang rekrutmen calon pejabat publik, implementasi sistem rekrutmen
yang berbasis kaderisasi, serta adanya sistem monitoring dan evaluasi.

Tata kelola keuangan berisi indikator-indikator seperti adanya sistem
keuangan dan akuntasi yang akurat, sistem dan database iuran anggota,
standar pelaporan keuangan, akses publik terhadap sistem keuangan, SOP
verifikasi penyimpangan keuangan, dan SOP audit internal keuangan
partai.

Gambaran di atas bagus-bagus saja dan sepertinya setali tiga uang
dengan opini umum publik terhadap partai politik. Apalagi jika melihat
hasil survei berbagai lembaga terhadap eksistensi parpol, rumusan KPK
tersebut seolah menjadi relevan adanya. Pertengahan bulan ini,
media-media melansir hasil temuan BPS tentang kinerja parpol yang
memburuk dan turunnya Indeks Demokrasi Indonesia (IDI). Ikhtiar KPK
bersama LIPI tersebut tentu saja harus diapresiasi. Namun demikian, ada
beberapa catatan atas poin-poin tersebut.

Tidak kompatibel

Dua hal elementer yang KPK dan LIPI lupa dalam membangun sistem
tersebut di atas adalah, pertama, tentang semesta sistem demokrasi
liberal yang kita pakai saat ini. Dalam rumusan tersebut, KPK dan LIPI
seolah-olah menarik bandul demokrasi kembali ke dalam tampilan yang
aristokratik: bahwa politik harus diisi oleh orang-orang yang ahli di
bidangnya (meritokrasi). Oleh karena itulah seorang politisi dinilai
harus seorang yang cerdas.

Bahkan statemen Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menyatakan
bahwa banyak kepala daerah saat ini tidak memiliki latar belakang
birokrasi. Saya berharap statemen tersebut karena ketidakpahaman yang
bersangkutan saja tentang sistem demokrasi dan sirkulasi kekuasaan di
alam demokrasi saat ini. Sebab, seorang Jokowi dan JK pun, yang menjadi
presiden dan wapres republik ini, sama sekali tidak pernah menjadi
birokrat. Belum lagi jika kita lihat contoh di berbagai belahan dunia
lain seperti Lula Da Silva di Brazil, Barrack Obama dan Donald Trump di
Amerika Serikat, Emmanuel Macron di Perancis atau Rodrigo Duterte di
Philipina. Indikator ini sama sekali tidak relevan dengan integritas
sebuah partai politik.

Terkait sistem rekrutmen dan kaderisasi, sistem integritas partai
politik yang ditawarkan KPK dan LIPI secara nyata  mengingkari alur
kerja demokrasi yang berbasis polular vote sebagai sistem politik yang
berjalan di Indonesia saat ini. Jika demikian maka sistem yang
ditawarkan sudah pasti tidak akan kompatibel. Karena gagal membaca
realitas tersebut, KPK dan LIPI menjadi set back dan seolah rindu dengan
masa Orde Baru: saat di mana kekuasaan berbasis bureaucratic syndrome
yang dikenal sebagai jalur ABG (ABRI, Birokrasi dan Golkar). Akhirnya,
sistem rekrutmen dan kaderisasi parpol sekarang dibayangkan mesti
memiliki sistem berjenjang – sebagaimana di masa Orde Baru dulu yang
harus mengikuti pendidikan A, B, C; mulai dari pengurus ranting, cabang,
hingga ke level teratas.

Sistem rekrutmen dan kaderisasi berjenjang adalah langgam dari sistem
politik yang kompatibel dengan otoritarian atau totalitarian. Seperti
di China yang totalitarian, di mana seorang pejabat negara atau pimpinan
partai wajib berkarir dari bawah dan harus mengikuti jenjang sekolah
kader partai yang sudah ditetapkan. Sementara di alam demokrasi liberal,
sistem politiknya terbuka bagi siapa saja yang memiliki kemauan dan
kemampuan dalam berkontestasi hingga bisa menjadi pejabat publik dan
pengurus partai. Seperti presiden Brazil, Lula da Silva, seorang sopir
truk yang kemudian menjadi walikota hingga kemudian menjadi presiden.
Atau yang paling dekat dengan kita, Presiden Jokowi. Seorang pengusaha
mebel yang tidak punya riwayat sebagai pengurus teras partai tapi
tiba-tiba bisa menjadi walikota, gubernur, dan sekarang Presiden
Republik Indonesia.

Sementara untuk poin komisi etik, etik sendiri adalah moral praksis.
Setiap partai memiliki tendensi nilai yang bernama ideologi sebagai
sumber nilai utama. Sebagai moral praksis, etika tentu menjadi sesuatu
yang derivatif dari ideologi masing-masing partai (value). Tidak ada
yang bisa digeneralisasikan dalam hal ini, sebab ideologi partai
berbeda-beda sumber nilainya. Oleh karena itu, hal yang semestinya
dibangun oleh KPK bukan basis etika akan tetapi moral forces atau biasa
disebut virtue. Virtue adalah keutamaan sikap atau kebajikan yang
nilainya universal. Ia bisa berlaku lintas partai, golongan, dan bahkan
keyakinan.

Sikap anti korupsi, anti diskriminasi, fair play atau tidak curang,
selalu mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan golongan,
itulah virtue bagi politisi, partai dan pejabat publik manapun. Sekali
lagi, itulah virtue (moral forces), bukan etika (moral praxis).

Terkait tata kelola keuangan parpol, ada kesalahkaprahan yang ada di
banyak kalangan, termasuk dalam rumusan sistem integritas parpol dari
KPK dan LIPI. Misalnya terkait iuran. Banyak pihak yang berpikiran bahwa
partai politik yang ideal adalah yang para anggotanya melakukan iuran.
Padahal iuran hanyalah salah satu jenis mekanisme pendanaan parpol.

Ada dua prinsip pendanaan dalam manajemen partai politik. Pertama,
partai didanai sepenuhnya oleh negara dengan alasan partai adalah
instrumen negara dalam menjaring, menyeleksi, dan mempromosikan
calon-calon pejabat negara. Untuk memenuhi standar kompetensi tertentu
maka negara memfasilitasi kebutuhan tersebut. Ini bisa kita pelajari
pada pengalaman Amerika Serikat. Di sana, negara membiayai proses
konvensi, pra pemilu yang berbentuk kontestasi hingga dialog programatik
antara kandidat dan konstituen.

Prinsip pendanaan partai kedua adalah iuran atau kontribusi anggota
atau kelompok kepentingan yang menjadi backbone dari partai politik itu
sendiri. Manifestasinya lebih dekat dengan politik representasi
kepentingan sebagai konsekuensi logis perjuangan dalam ikthiar
menyuarakan serta memenangkan kepentingan. Misalnya Partai Buruh di
Eropa. Ia didanai dari iuran serikat buruh yang langsung dipotong dari
gaji mereka setiap bulan. Namun untuk partai konservatifnya, ia didanai
oleh kalangan pengusaha atau kaum aristokrat yang membentuk partai
tersebut.

Beberapa waktu lalu, melalui DPR RI, NasDem secara tegas dan terbuka
menolak gagasan tentang kenaikan insentif negara terhadap partai. Entah
itu biaya operasional parpol atau pun biaya saksi. Alasannya, karena
kita masih menganut sistem multipartai maka hal tersebut adalah
pemborosan. Di sisi lain, merujuk pada eksistensi partai sebagai lembaga
milik publik, ia mestilah hidup dan dihidupi oleh publik itu sendiri
dan kepentingan publik yang diwakilinya (konstituen dan atau kelompok
kepentingan).

Jadi, kedua ranah pembiayaan partai politik tersebut bisa dipakai
dalam alam demokrasi. Oleh karena itu yang semestinya dibangun oleh KPK
adalah instrumen transparansi dan akuntabilitas belanja kampanye dalam
kontestasi. Di sinilah hulu pencegahan tindak pidana korupsi sekaligus
awal mula pembangunan integritas partai, politisi, dan pejabat negara.

Ekspresi dari demokrasi liberal adalah kontestasi modal; baik itu
modal sosial, modal politik, serta modal finansial. Memang, sering kali
indikator utama kemenangan kontestasi politik dalam alam demokrasi
liberal ditandai seberapa besar konsolidasi modal finansial yang bisa
dilakukan. Oleh karenanya, jika ada niatan KPK untuk melakukan
pencegahan tindak pidana korupsi seperti pencucian uang, politik mahar,
dan investor politik (ijon proyek APBN/APBD), hal ini akan jauh lebih
relevan bagi pembangunan integritas politisi maupun partai politik di
tanah air.

Sejauh ini, dalam hal instrumen akuntabilitas dan transparansi, KPK
baru bisa menggunakan Laporan Hasil Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN)
dalam upaya membangun sistem integritas partai politik. Sementara itu,
KPK mengeluhkan bahwa 80 persen anggota DPRD tidak menyerahkan LHKPN
mereka. Padahal di dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, anggota DPRD bukanlah pejabat negara.

Salah positioning

Hal elementer kedua, KPK keliru menempatkan diri, terutama terhadap
partai politik. Sebagaimana halnya KPK, fakta dan sistem multipartai
juga adalah produk reformasi. Dua instrumen ini memiliki domain
masing-masing. Sebagaimana sistem multipartai yang menjadi antitesis
atas sistem dua partai dan satu golongan ala Orde Baru, penegakkan
hukum, khususnya perang melawan korupsi, bukanlah agenda baru dalam
demokrasi. Semangat Reformasi 1998 sebagai titik pijak demokrasi
Indonesia memiliki tema sentral tentang anti KKN (korupsi, kolusi dan
nepotisme).

Oleh karena itu yang harus KPK kembangkan adalah semangat sinergi,
bukan “mendikte”. Instrumen-instrumen yang ada dalam sistem integritas
produk KPK dan LIPI cenderung menggurui parpol. Sistem rekrutmen,
kaderisasi, komisi etik, adalah domain masing-masing partai dengan
ideologi dan kekhasannya masing-masing. Biarlah itu menjadi urusan dapur
setiap mereka. Toh, demokrasi dan hukum adalah dua sisi yang tidak bisa
dipisahkan. Demokrasi harus berjalan atas dasar prinsip-prinsip sistem
hukum yang menjamin hak dasar dan kepastian hukum bagi setiap warganya.

Terakhir, politik itu berbasis pada representasi kelompok
kepentingan. Jika KPK dan LIPI berpatokan pada kecerdasan maka ia telah
terjebak pada demokrasi Athenian. Demokrasi semacam ini hanya
memperbolehkan mereka kaum filosof dan aristokrat untuk berpolitik.
Dalam iklim demokrasi popular seperti saat ini orang biasa seperti
Jokowi, Ridwan Kamil, Nurdin Basyirun dan sebagainya, pasti tidak akan
mendapatkan tempat.

Itulah mengapa politik tidak selalu harus orang cerdas. Politik lebih
membutuhkan orang yang berpihak sebagai representasi aktor yang membela
kepentingan kelompok yang diwakilinya. Kalau seorang politisi tidak
cakap, itu hal yang berbeda. Politik bukan berarti seseorang harus
berpendidikan tinggi, karena ia lahir dari rahim pergulatan kepentingan
yang diwakilinya. Karenanya instrumen model skolastik dengan pendekatan
sekolah kader atau sekolah legislatif seperti yang dibayangkan KPK tidak
cukup melahirkan politisi dan pejabat Negara berintegritas.

Add Comment