a

Otokritik Partai Politik

Otokritik Partai Politik

ADA yang menarik dalam pengarahan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Jawa Barat, 13 Maret 2016 yang lalu. Pada kesempatan itu, Pak SP menggunakan kata “otokritik” atau kritik terhadap diri sendiri terkait fungsi dan peran partai politik.

Beberapa hal dalam otokritik Pak SP ketika itu, bisa saya kutip sebagai berikut:

Kenapa ada gubernur yang ingin maju sebagai calon independen, padahal ada institusi resmi partai-partai politik? Ini adalah suatu challenge kepada partai-partai politik. Tentu ada yang salah dengan fungsi dan peran partai politik selama ini.

Kenapa persepsi publik masih negatif terhadap partai politik? Inilah saatnya partai politik melakukan otokritik! Partai politik harus melakukan koreksi, berani mengakui kelemahan diri, mengedepankan kembali keteladanan.

Otokritik itu, bagi saya, memberikan alarm bagi para politisi dan aktivis muda di partai politik. Seringkali dalam komunikasi politik, partai-partai terlihat arogan, merasa benar sendiri dan cenderung hanya lihai bersilat lidah.

Sering juga tak tampak lagi adanya ketulusan dan kejujuran, apalagi keteladanan. Politik dipahami hanya sebagai sebuah permainan (political game) dan abai tujuan sejati politik itu sendiri, yaitu kekuasaan untuk rakyat (publik). Hal Inilah yang kini jamak dalam kehidupan politik Indonesia.

Tengok saja upaya yang sempat muncul dalam revisi UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dari sekian banyak masalah yang ada pada UU tersebut, misalnya tentang fungsi lembaga pengawas pemilu, efektivitas penyelesaian sengketa, dan bahkan efektivitas persyaratan calon yang kini digegerkan oleh adanya kepala daerah terpilih yang tertangkap narkoba.

Akan tetapi, dari sekian banyak masalah tersebut, hal yang mengemuka justru wacana memperberat syarat calon perseorangan dan pada saat yang sama memperingan syarat calon dari partai politik. Wacana ini semakin mempertontonkan tabiat partai politik yang mau “enak sendiri”, egois dan jauh dari semangat aspirasi masyarakat.

Syukurlah, Partai NasDem menjadi partai politik pertama yang menolaknya.

Karena itu, jika masyarakat saat ini cenderung pesimis atau bahkan sinis dengan partai politik, rasanya hal itu berpulang pada partai politik itu sendiri. Semakin partai politik tak melakukan otokritik, semakin rendahlah apresiasi masyarakat terhadap partai politik.

Lantas, siapakah yang dirugikan dengan pesimisme dan sinisme masyarakat terhadap partai politik itu? Proses demokrasi Indonesia-lah yang akan dirugikan. Benar bahwa partai politik adalah pilar demokrasi. Akan tetapi partai politik tak bisa berlindung di balik status sebagai pilar demokrasi tersebut. Partai politik tak boleh menuntut “hak”-nya sebagai pilar demokrasi, namun abai terhadap “kewajiban”-nya sebagai pilar demokrasi, yaitu melakukan pendidikan politik yang baik kepada publik.

Pendidikan politik kepada publik tak mungkin dilakukan partai politik, apabila ia gagal melakukan pendidikan politik terhadap dirinya sendiri. Di sinilah otokritik yang disebutkan Pak SP itu menjadi penting. Sebab, otokritik adalah salah satu komponen penting dalam pendidikan politik bagi partai-partai politik itu sendiri.

Link: http://martinmanurung.id/id/otokritik-partai-politik/

Add Comment