Menyusuri Jejak Perancang Lambang Negara Republik Indonesia
JAKARTA (21 April): Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Kita mengenal dengan baik penjahit sang Saka Merah Putih. Kita juga tahu pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, tapi tahukah Anda, siapa perancang Lambang Negara Republik Indonesia, atau yang kita kenal dengan Burung Garuda Pancasila?
Fraksi Partai NasDem mencoba menyusuri jejak perancang Lambang Negara Indonesia tersebut ke dalam seminar bertajuk ‘Meluruskan Sejarah Sultan Hamid II Sang Perancang Lambang Negara Republik Indonesia: Garuda Pancasila’, Kamis, 21 April di Ruang Rapat KK I DPR RI, Senayan, Jakarta.
Hadir dalam acara tersebut nara sumber yang dianggap mumpuni untuk bercerita tentang lambang negara tersebut. Mereka adalah Prof. Andi Hamzah (pakar hukum pidana), H. Syarif Abdullah Alkadrie, Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR RI, Turiman Fachturrahman Nur, SH, M.Hum, dosen/tenaga pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura (Untan Pontianak) dan Nanang Rakhmad Hidayat, M.Sn. dosen Institut Kesenian Indonesia/ISI Yogyakarta yang juga tim litbang Rumah Garuda.
Selain para nara sumber, hadir pula anggota Dewan Pimpinan Pusat Partai NasDem, pimpinan dan anggota Fraksi Partai NasDem, sayap Partai NasDem, tenaga ahli Fraksi NasDem dan tenaga ahli anggota Fraksi Partai NasDem, tenaga ahli lintas fraksi serta anggota DPRD Kalimantan Barat serta ahli waris Sultan Hamid II.
Dalam sambutannya, Sekretaris Fraksi NasDem Syarif Abdullah Alkadrie menyatakan, sejarah harus diluruskan. “Sejarah harus dibuktikan, bukan untuk dihapus atau dilupakan. Inilah kesempatan untuk menggali dan meluruskan sejarah,” tegasnya.
Apa yang disampaikan Syarif cukup beralasan, mengingat sosok perancang lambang negara Indonesia itu hingga kini ‘seperti’ terlupakan. Padahal, menurutnya, sang perancang adalah seorang yang sangat berperan terhadap eksistensi NKRI. Bukan sekadar merancang lambang negara, dia juga seorang pejuang kemerdekaan dari Pontianak, bernama Syarif Abdul Hamid Alkadrie. Pada masa hidupnya, dia menjabat sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Sultan Hamid II.
Sementara akademisi Universitas Tanjungpura, Turiman Fatchurahman Nur menyampaikan hasil kajiannya terkait sumbangsih Sultan Hamid II terhadap kemerdekaan. Secara kebetulan, Turiman memang sedang mempersiapkan tesis mengenai Lambang Negara Indonesia ini.
“Kalau saja dia mau, Sultan Hamid II selaku Sultan Pontianak waktu itu bisa saja membawa Pontianak sesuai kepentingannya sendiri. Posisi Pontianak sebagai kesultanan independen, sangat mendukung posisi Sultan Hamid II, jika dia ingin menjadi daerah tersendiri di luar Indonesia,” tutur Turiman berapi-api.
Namun, faktanya, tambah Turiman, Sultan Hamid II memilih bergabung dengan Indonesia, meskipun waktu itu dia juga ditawari bergabung ke Serawak.
Fakta itu membuktikan bahwa sikap dan sumbangsih Sultan Hamid II terhadap NKRI tak perlu diragukan lagi. Oleh karenanya, Turiman menilai pelurusan sejarah terkait tokoh perancang lambang NKRI itu bersifat wajib, harus dilaksanakan. Satu persoalan yang mengganjal, yakni tuduhan bahwa Sultan Hamid II terlibat pemberontakan Westerling. Hal itu menurutnya perlu diluruskan, mengingat bukti-bukti atas tuduhan itu tidak meyakinkan dan Turiman punya bukti kuat atas hal itu.
Karya Sultan Hamid II yakni gambar Elang Rajawali – yang kemudian menjadi Garuda Pancasila – dipilih, diakui, dan hingga kini dipakai sebagai lambang resmi negara. Namun dokumen resmi kenegaraan yang menyatakan lambang Garuda adalah hasil ciptaan Sultan Hamid II hingga saat ini belum ada.
Menurut Sekjen Partai NasDem, Nining Indra Saleh, yang juga hadir di acara seminar tersebut menyatakan, nama Sultan Hamid II belum mendapatkan tempat yang layak dari negara sebagai pencipta lambang Garuda. UU Nomor 24 Tahun 2009 hanya menyebutkan WR Supratman sebaga pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya, tanpa menyebutkan Syarif Abdul Hamid Alkadrie sebagai pencipta lambang negara.
"Fraksi Partai NasDem memandang penting pelurusan sejarah ini. Sekaligus untuk menegaskan sikap politik diskriminatif antar pengukir sejarah di tanah air. Harapannya, seminar ini dapat menjernihkan sekaligus meluruskan titik sejarah yang benar, khususnya terhadap Sultan Hamid II. Sebagai perancang lambang negara RI, Sultan Hamid II layak dicatat dalam sejarah secara de jure, seperi halnya WR Supratman. Sultan Hamid telah memberi kontribusi positif-konstruktifnya untuk negeri ini," kata Nining.(*)