Kepercayaan Publik dan Masa Depan Parpol

Oleh Wawan Darmawan, S.Pd*

KEBERADAAN dan peran partai politik (parpol) dalam negara demokrasi bukan saja penting, akan tetapi juga merupakan salah satu faktor kunci (key factor) yang paling signifikan. 

Ia penting dan menjadi unsur signifikan lantaran definisi, karakteristik, fungsi, serta perannya sebagai aktor dalam proses demokratisasi serta elemen paling dekat dalam mengelola kekuasaan (formal) di tubuh negara. 

Dalam pandangan Firmanzah (2008: 70-71), parpol merupakan organisasi yang sangat berperan dalam menyelenggarakan rekrutmen dan seleksi pemimpin. Misalnya, parpol bukan saja berfungsi merekrut calon para pejabat negara, namun juga mendistribusikan kadernya untuk menempati lembaga-lembaga kenegaraan, baik yang memegang kewenangan legislatif maupun eksekutif. 

Faktanya, kewenangan yang disandang dua lembaga itu vital dalam mengelola negara dan proses demokratisasi, serta dalam menentukan kondisi ekonomi, sosial, dan keamanan rakyat dan masa depan bangsa.

Kalaupun tidak menggunakan maupun sengaja menghilangkan istilah parpol dalam tata negara, baik karena alasan kebiasaan maupun lantaran ada pihak-pihak yang alergi dalam memakai istilah itu, namun sulit dimungkiri bahwa negara yang demokratis niscaya membutuhkan lembaga-lembaga sosial politik yang menjalankan – setidak-tidaknya – fungsi legislatif. 

Singkat kata, apa pun namanya, negara demokratis niscaya membutuhkan lembaga-lembaga sosial politik untuk mengelola kekuasaan negara. Walhasil dalam negara demokratis, lembaga-lembaga sosial politik seperti parpol sulit diabaikan apalagi dihilangkan dalam rangka menciptakan sejarah gemilang bangsa dan negara. 

Artinya, sikap yang terbaik hanyalah menerima takdir, bahwa lembaga-lembaga sosial politik seperti parpol harus ada dan bersamaan dengan itu mesti dikelola dengan baik.

Lantaran pilihannya parpol mesti ada, maka yang dapat dilakukan seluruh elemen bangsa dan negara hanyalah memberikan kewenangan atau fungsi yang tepat serta check and balances (memeriksa dan menyeimbangkan) terhadap parpol, sekaligus memperbaiki unsur dalaman dan luarannya agar bekerja dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan titah konstitusi dan ekspektasi (harapan) publik. 

Maka dalam hal ini, tiap dan antarparpol ditantang untuk berdialog dan berjuang menyesuaikan dirinya dengan kedua hal tadi (konstitusi dan ekspektasi publik). 

Dalam negara demokrasi, parpol-parpol juga senantiasa berada dan diposisikan dalam arena kompetitif satu sama lain untuk berlomba-lomba meraih kepercayaan publik berupa dukungan publik dengan memilih parpolnya saat pemilihan umum, maupun dengan merespons atau menilai baik kinerjanya, sehingga tingkat elektabilitasnya (keterpilihannya) selalu menanjak.

Semua parpol sudah semestinya ditempatkan dalam ruang kompetitif. Bukan untuk bersinggungan, berjibaku, dan apalagi berkonflik yang kontra-produktif dalam meraih kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri, melainkan berkompetisi dalam meraih kepercayaan publik (pemilih) dalam koridor perjuangan yang sungguh-sungguh hingga bersesuaian dengan acuan konstitusi negara dan kepercayaan dan kepuasan publik. 

Karena itu, maka perkembangan parpol bukan saja akan bersifat dinamis, namun juga, kompetisi yang terjadi akan cenderung ke arah perbaikan terus-menerus bagi kebanyakan orang. Harapannya, alih-alih merupakan salah satu sumber permasalahan bangsa dan negara, parpol yang hadir malah tampil menjadi dinamisator dan problem solver (penyelesai masalah) kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kepercayaan Publik

Adalah Abraham Lincoln, pahlawan dan pejuang demokrasi di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, pelaku atau aktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, wabil khusus dalam aspek pemerintahan, adalah rakyat (peoples). 

Jauh dari makna menguasai secara despotik apalagi mempraktikkan penjajahan yang cenderung feodalistik dan imperialistik, makna pemerintahan dalam negara demokrasi adalah pengurusan dan pengelolaan. 

Pemerintah sama dengan lembaga yang mengurus dan mengelola pemerintahan (lembaga eksekutif negara). Ia hanya mencerminkan adanya proses pembagian tugas antarwarga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pihak yang mengisi dan kewenangan pemerintahan berasal dari rakyat dan oleh rakyat, serta diorientasikan untuk perbaikan kualitas hidup rakyat.

Pelaku dan aktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, memang rakyat. Hal ini dapat diterangkan, betapa rakyatlah – terutama rakyat pemilih (voters) – yang memegang kendali dalam memilih dan mendaulat parpol dan politisi untuk memegang dan menjalankan kewenangan atau kekuasaan legislatif (DPRD hingga DPR RI) serta eksekutif (pemerintah daerah hingga pemerintah RI). 

Jika suatu parpol dan politisi tidak menjadi pilihan dan tidak didaulat oleh rakyat untuk memegang dan menjalankan kewenangan atau kekuasaan legislatif maupun eksekutif, maka raiblah kewenangan atau kekuasaan itu dari genggaman parpol dan politisi tersebut. 

Manakala parpol dan politisi dipilih dan didaulat oleh rakyat untuk memegang dan menjalankan kewenangan atau kekuasaan legislatif maupun eksekutif, maka hadirlah kewenangan dan kekuasaan itu dalam genggamannya.

Kewenangan dan kekuasaanlah yang sesungguhnya diperebutkan oleh parpol dan politisi. Hal itu (kewenangan atau kekuasaan) sangat menarik dan menjadi incaran parpol dan politisi, lantaran membuat para penyandangnya dapat berperan lebih signifikan dalam menentukan arah sejarah bangsa dan negaranya. 

Tentu saja, selain itu, para penyandang kewenangan atau kekuasaan itu menjadi memiliki akses lebih ke dalam aspek ekonomi dan politik daerah ataupun negara. Ada pula status sosial terpandang dan fasilitas negara yang dapat digunakan manakala menyandang kewenangan atau kekuasaan tersebut. 

Tentu saja, bersamaan dengan itu, terdapat pula tanggung jawab besar parpol dan politisi terhadap rakyat.

Pertanyaannya kemudian, atas dasar dan faktor apa rakyat memilih parpol dan politisi untuk menjalankan tugas legislatif dan eksekutif? Tentu saja jawabannya banyak dasar dan faktor. Akan tetapi ketika disimpulkan, maka dasar dan faktor terpenting itu ialah kepercayaan rakyat (people’s trust). 

Dasar dan faktor kepercayaan rakyat ini dibentuk – setidak-tidaknya – oleh beberapa hal: popularitas (kepopuleran atau keterkenalan) parpol dan politisi di mata rakyat pemilih, akseptabilitas (keberterimaan) parpol dan politisi dalam persepsi rakyat pemilih, dan terakhir, tentu saja faktor penentu, yakni faktor elektabilitas (tingkat keterpilihan) parpol dan politisi dalam persepsi pilihan rakyat pemilih.

Jadi dalam negara demokrasi, seluruh parpol dan politisi sulit dilepaskan dari dinamika dan perjuangan dalam rangka merebut kepercayaan rakyat. 

Antara kepercayaan rakyat dengan faktor popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas parpol dan politisi senantiasa bersinggungan dalam negara demokrasi, terlebih menjelang dan dalam proses pemilihan umum. 

Faktor popularitas, dan terutama tingkat akseptabilitas dan elektabilitas itu sendiri banyak penyangganya. Lantaran isinya tentang tingkat keterkenalan, maka unsur popularitas parpol dan politisi sangat ditentukan oleh jejak sejarah dan persebaran pemberitaan mengenai parpol dan politisi tersebut ke benak rakyat. 

Adapun tingkat akseptabilitas sangat ditentukan oleh unsur persepsi rakyat terhadap parpol dan politisi. 

Akseptabilitas ini mungkin dibentuk oleh ideologi, paradigma, agama, pendidikan, dan kelas sosial dan ekonomi rakyat pemilih. Dan tentu saja, pada akhirnya, parpol dan politisi dengan tingkat akseptabilitas tertinggi akan dipilih oleh rakyat pemilih.

Kalau boleh mengupas tipologi kepribadian Rasulullah Muhammad SAW, maka terdapat empat kepribadian mulia beliau yang terlihat berkorelasi satu sama lain: siddiq (benar), amanah (dapat dipercayai), tabligh (menyampaikan), dan fathonah (pintar atau bijaksana). 

Siddiq (benar) artinya terjadinya kesesuaian antara apa yang dikatakan dan kenyataan, keyakinan, dan perbuatan. Karena benar, maka hal itu menunjukan adanya sifat fathonah (pintar atau bijaksana). 

Kebenaran dan kepintaran atau kebijaksanaan itu lantas senantiasa disampaikan (tabligh). Maka jadilah beliau pribadi yang amanah (dapat dipercaya). Dalam konteks ini, maka parpol dan politisi pun dituntut berkarakteristik seperti itu. Parpol dan politisi harus benar, pintar atau bijaksana, dan menyampaikan hal itu, sehingga tampil menjadi parpol dan politisi yang dapat dipercaya rakyat pemilih.

Demikian pula, rakyat harus memilih parpol dan politisi yang benar, pintar dan bijaksana, menyampaikan kebenaran dan kebijaksanaan, serta terpercaya.

Namun pertanyaannya kemudian, bagaimana mungkin negeri ini beroleh parpol dan politisi serta rakyat pemilih yang berkarakteristik seperti itu? Di sini pentingnya pendidikan politik kental terlihat. Betapa pertama-tama, parpol dan politisi harus dikelola dengan baik dan diisi oleh orang-orang baik. 

Parpol dan politisi yang baik adalah orang-orang yang bukan hanya benar, melainkan juga pintar dan menyampaikan kebenaran dan pengetahuan, sehingga menyandang sebutan sebagai pihak yang layak dipercaya. Pun rakyat pemilih perlu menyadari terlebih dahulu siapa dirinya yang sesungguhnya dan hendak ke mana sejarah negara dan bangsanya diarahkan. 

Beranjak dari sini, rakyat pemilih juga perlu mengenali karakteristik parpol dan politisi yang hendak dipilihnya.


Masa Depan Parpol dan Parpol Masa Depan

Apapun parpolnya, tetap saja dalam negara demokrasi, parpol akan dan harus tetap ada. Ia merupakan lembaga sosial politik yang spesifik menggauli ranah kekuasaan dalam lingkungan sosial dan politik bangsa dan negara. 

Karena tidak dapat dihilangkan, maka yang dapat dilakukan terhadapnya hanyalah membentuk dan mengelolanya dengan sebaik-baiknya. 

Kalau melihat sejarah kepartaian negeri ini, maka akan terlacak bahwa telah banyak parpol yang berdiri namun lalu bubar atau bermetamorfosis dengan nama dan platform baru. Rasa-rasanya, tidak ada satu pun parpol yang mampu bertahan dengan nama dan platform yang sama sejak didirikan saat Indonesia baru merdeka. 

Karenanya dapat disimpulkan, sejarah parpol senantiasa beriringan dengan sejarah perkembangan bangsa dan negara.

Bagaimana dengan masa depan parpol di negeri ini? Selain perlu bermetamorfosis menjadi parpol yang memiliki orientasi dan langkah spesifik dalam menjabarkan tujuan pembentukan dan konstitusi negara, parpol juga ditantang untuk senantiasa intens berdialog dengan rakyat sehingga dapat memuaskan aspirasi rakyat. 

Karena itu, parpol harus memiliki basis massa. Dengan kata lain, parpol di masa depan harus tampil sebagai penyambung lidah rakyat dengan basis massa yang jelas. 

Muara dari segala muara aliran dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara adalah rakyat, lebih tegasnya lagi aspirasi rakyat. Tentu saja aliran aspirasi rakyat itu signifikan diolah dan ditindaklanjuti oleh parpol di masa depan.

Manakala iklim demokratis dalam negara demokrasi pasca Reformasi 1998 di negeri ini dapat dikembangkan lebih lanjut di masa depan, maka parpol masa depan bukan saja parpol dengan tingkat popularitas yang tinggi, melainkan pula dengan tingkat akseptabilitas dan elektabilitas yang tinggi pula. 

Selain artikulatif dalam menyerap dan mengolah aspirasi rakyat, parpol masa depan juga harus mampu berkomunikasi dengan rakyat dan meyakinkan rakyat. 

Di sinilah peran media massa menjadi penting. Parpol masa depan bukan saja benar dan bijaksana dalam mengelola kewenangan politik yang disandangnya dalam memajukan kualitas hidup rakyat, namun juga artikulatif menyampaikan hal itu, sehingga mendapat kepercayaan rakyat. 

Parpol kuat karena dipercaya rakyat. Parpol kuat karena punya akar dukungan rill di basis masyarakat. Kata kuncinya adalah jangan sekali-kali meninggalkan basis masyarakat dengan senantiasa membangun komunikasi dan menyerap aspirasi masyarakat.

*Wawan Darmawan, S.Pd, Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten Majalengka, mantan aktivis 98 di Kota Bandung

Add Comment