Stigma Minor Caleg DPR-RI*
Stigma Minor Caleg DPR-RI*
Oleh Gantyo Koespradono
CERITA lama perilaku "minor" caleg dan anggota legislatif (setelah mereka terpilih) selalu saya dengar saat saya bertemu dengan siapa pun di lapangan.
Stigma caleg dan partai politik hanya datang menjelang pemilu, selalu muncul setiap lima tahun sekali.
Saya yang baru pertama kali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif (DPR-RI) pada hajatan Pemilu Serentak 2019 dianggap punya tabiat yang sama dengan para pendahulu saya.
Itulah realitas politik di negeri ini. Kerja parpol baru kelihatan atau dilakukan saat pemilu datang. Setelah itu parpol kembali tidur panjang.
Membantah stigma negatif lima tahunan itu jelas sia-sia. Percuma.
"Dulu sebelum pemilihan, kami diminta mati-matian mendukung caleg dari partai itu. Tapi setelah terpilih,ia melupakan kami. Saat dia melintas di kampung kami naik mobil, disapa pun kami tidak," kata seorang warga di Jepara.
Saya selaku caleg DPR-RI dari Partai NasDem di Dapil Jateng II (Kabupaten Demak, Kudus dan Jepara) tentu tidak elok jika menjawab: "Itu kan bukan saya. Jangan samakan dong saya dengan dia."
Apa pun yang disuarakan masyarakat, itulah konsekuensi yang harus saya terima sebagai caleg.
Saya yakin caleg pendatang baru dari partai mana pun mengalami seperti yang saya alami. Tidak ada kata-kata penghibur lain kecuali para caleg baru harus tabah dan sabar.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, ada stigma lain yang saya tangkap dari perilaku konstituen, yaitu semua caleg (tanpa kecuali) pasti sudah menyiapkan uang dalam jumlah besar hingga miliaran rupiah.
Berbagai aktivitas yang dilakukan para caleg di dapil, termasuk menyiapkan alat peraga kampanye (brosur, baliho, poster), iklan di media massa, dan sebagainya memang membutuhkan uang yang tidak sedikit.
Tahu akan hal itu, banyak warga masyarakat yang menyamaratakan bahwa semua caleg adalah orang yang telah mapan dan kaya raya. Padahal faktanya tidak demikian.
Suatu hari saya pernah menyosialisasikan pencalegan saya dan pencapresan Jokowi dengan cara mengamen dari warung ke warung. Seusai mengamen, saat saya membagi-bagikan kartu nama, ada pengunjung yang bertanya, "uangnya mana?"
Ada pula teman yang menyarankan saya agar melakukan kontrak politik di muka dengan komunitas-komunitas tertentu. Ya, pragmatis transaksional.
Saya bisa maklumi jika gagasan-gagasan seperti itu dikemukakan, sebab, lagi-lagi berbagai janji yang pernah diungkapkan para caleg di masa lalu tidak pernah ditepati, sehingga perlu ada perjanjian hitam di atas putih.
Mereka menganggap bahwa anggota DPR itu identik dengan kemewahan dan kenikmatan-kenikmatan lainnya, sehingga satu suara mereka ada harganya dan disetarakan dengan nilai rupiah.
Rakyat sama sekali tidak tahu, bahkan tidak mau tahu bahwa para caleg kelak jika terpilih menjadi anggota DPR sebenarnya untuk membela kepentingan mereka. Bekerja untuk mereka. Berjuang untuk mereka.
Apakah semuanya begitu? Tidak! Sebab faktanya, banyak tokoh masyarakat di dapil saya yang mendukung saya tanpa pamrih.
Dilatarbelakangi kenyataan itulah kepada konstituen saya menjelaskan bahwa jika terpilih menjadi anggota DPR, saya cuma punya tekad, yaitu tekun dan disiplin mengikuti persidangan dan rapat-rapat saat membahas rancangan undang-undang.
Setiap kontestasi pasti menghasilkan menang dan kalah. Setiap caleg harus siap kalah.
Saya bersyukur, dari pimpinan Partai NasDem, saya mendapat informasi pasca-Pemilu Serentak 2019, para caleg yang belum berhasil duduk di lembaga legislatif, tetap diminta untuk merawat konstituen di dapilnya masing-masing.
Dengan begitu suasana pemilu terus terjadi setiap waktu, bukan lima tahun sekali. Jika ini dilakukan secara terus menerus, maka menghadapi Pemilu 2024, kita tidak perlu lagi grusa-grusu, dan yang penting, kita bisa menghemat biaya.
"Saya bahkan sempat berpikir jika dimungkinkan, saya akan siapkan mobil saya untuk dibranding dengan gambar caleg dan logo NasDem untuk lima tahun mendatang," kata Ketua Mahkamah Partai NasDem Saur Hutabarat.
——–
*Penulis adalah caleg DPR-RI Partai NasDem nomor urut 7 di Dapil Jateng II (Demak, Kudus dan Jepara).