Revisi UU Dikdok bisa Benahi Sistem Pelayanan Kesehatan

JAKARTA (17 November): Revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran (Dikdok) harus menjadi bagian solusi dari permasalahan kesehatan yang dihadapi negeri ini.

“Belajar dari pandemi sampai hari ini, harus diakui kita memiliki sejumlah kekurangan dalam sistem pelayanan kesehatan yang perlu segera dibenahi,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutannya pada Focus Group Discussion bertema Pergantian UU Pendidikan Kedokteran Sebagai Solusi Disrupsi Pelayanan Kesehatan dalam Revolusi Industri 4.0 di ruang Delegasi, Gedung MPR/DPR Jakarta, Rabu (17/11).

Dalam diskusi yang dimoderatori Irwansyah (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu hadir pula Willy Aditya (Wakil Ketua Baleg DPR RI), H Budi Santoso (Guru Besar, Dekan FKIK Universitas Arilangga Surabaya), Mariya Mubarika (Ikatan Dokter Indonesia), Titi Savitri Prihatiningsih (Anggota World Federation Of Medical Education) dan Haswan (Forum Dokter Muda Indonesia) sebagai narasumber.

Hadir pula sejumlah pakar dalam FGD tersebut sebagai penanggap.

Pelayanan kesehatan yang belum maksimal saat ini, kata Lestari yang akrab disapa Rerie, antara lain disebabkan belum meratanya penyebaran dokter di Tanah Air.

Menurut Legislator NasDem itu, hal tersebut bukan karena dokternya tidak mau ditugaskan, tetapi memang karena jumlah dokternya jauh lebih sedikit dari kebutuhan.

Pembenahan pelayanan kesehatan, jelas Rerie, antara lain bisa dilakukan melalui perbaikan sistem pendidikan, secara spesifik pendidikan kedokteran.

Kemudian, tambah anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, juga diperlukan pembenahan sistem pelayanan kesehatan, dan ketersediaan fasilitas pendukung menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi.

Menurut Rerie, untuk mewujudkan hal tersebut perlu langkah dan gerakan bersama dari para pemangku kepentingan untuk mewujudkan pembenahan dan peningkatan pelayanan kesehatan di Tanah Air.

Wakil Ketua Badan Legislatif DPR RI, Willy Aditya mengungkapkan usulan perbaikan UU Dikdok sangat berkaitan dengan upaya pembangunan sumber daya manusia (SDM) secara umum di negeri ini.

Terkait kondisi pelayanan kesehatan saat ini, menurut Willy, perlu revisi UU No 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.

Tujuannya, kata Willy, selain meningkatkan kualitas dokter, juga untuk memperbaiki kualitas layanan kesehatan di Indonesia.

Karena, jelas Legislator NasDem itu, dalam proses pembahasan RUU Dikdok ada dua kementerian terkait yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Kesehatan. Willy berharap, tidak ada ego sektoral dalam pelaksanaan aturan nantinya.

Untuk mewujudkan peningkatan kualitas dokter dan layanan kesehatan nasional, tegas Willy, perlu langkah afirmasi dari negara untuk menciptakan kondisi yang mendukung lahirnya dokter yang berkualitas dan merata di Indonesia.

Dekan FKIK Universiatas Arilangga, H Budi Santoso berharap, dalam upaya revisi UU Dikdok harus ada kolaborasi dari semua pihak untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang merata.

Salah satu yang harus diupayakan, menurut Budi, adalah besaran biaya pendidikan kedokteran harus ditetapkan oleh peraturan pemerintah atau ada keterlibatan pemerintah sehingga lebih terjangkau.

Demikian juga dengan kemudahan dokter dalam berlatih. Saat ini, jelas Budi, pelatihan dokter terkait penerapan sejumlah metode pengobatan terkendala keterbatasan peralatan.

Pada kesempatan itu, Budi menegaskan, dalam hal peningkatan kualitas dokter, uji kompetensi sangat penting dan harus dipertahankan.

Anggota World Federation Of Medical Education, Titi Savitri Prihatiningsih berpendapat asesmen dalam pendidikan kedokteran sangat penting, karena dari hasil asesmen ada feedback tentang kondisi terkini terkait keterampilan dokter yang bersangkutan.

Titi berharap, regulasi pendidikan kedokteran melakukan transformasi dalam bidang edukasi dan institusi pelatihan, akreditasi dan regulasi, serta pembiayaan yang berkelanjutan.

Sedangkan Haswan dari Forum Dokter Muda Indonesia berpendapat, uji kompetensi jangan dijadikan sebagai bagian kelulusan dalam pendidikan kedokteran.

Dirjen Pendidikan Tinggi, Kemendikbudristek, Nizam mengatakan jika UU Dikdok direvisi, perlu juga merevisi undang-undang praktik dokter.

Sekretaris Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan, Azhar Jaya menegaskan, yang dibutuhkan Kemenkes adalah jumlah dokter yang cukup, tersebar merata dan bermutu.

Untuk ketersediaan dokter umum, jelas Azhar, upaya yang harus dilakukan adalah redistribusi agar lebih merata di sejumlah daerah.

Sedangkan untuk dokter spesialis, tegasnya, jumlahnya memang kurang. Azhar berharap, lembaga pendidikan kedokteran bisa menghasilkan dokter-dokter spesialis untuk mengisi kekurangan yang terjadi.

Anggota PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ganis Irawan mengatakan, ada karakter feodal pada sistem pendidikan kedokteran di Indonesia. Sehingga patut diduga, seringkali terjadi hambatan dalam pasokan dokter pada sistem pelayanan kesehatan nasional.

Jurnalis Media Indonesia, Siswantini Suryandari mengungkapkan problem tidak meratanya sebaran dokter di Tanah Air merupakan masalah yang sudah bertahun-tahun terjadi dan hingga kini belum bisa diatasi.

Pemanfaatan teknologi, jelas Siswantini, bisa dicoba untuk menyebarluaskan informasi terkait ilmu bidang kedokteran dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kompetensi dokter di berbagai daerah.(*)

Add Comment