Kasus Kekerasan Seksual Marak Momentum RUU TPKS Disahkan

JAKARTA (14 Desember): Menyikapi maraknya kasus kekerasan seksual yang mencuat belakangan ini, anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan menegaskan para pelaku harus dijerat dengan hukuman maksimal kebiri untuk memutus mata rantai pelecehan seksual.

Selain itu, kata Legislator NasDem tersebut, para pelaku juga harus dibatasi mobilitas fisik dan sosialnya. Pasalnya dampak perbuatan bejat pelaku sudah merusak kondisi sosial para korban.

“Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial. Karena korban kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang,” ujar Farhan dalam keterangannya, Senin (13/12).

Farhan menyoroti kasus kekerasan seksual oleh seorang guru boarding school di Bandung, Jawa Barat, terhadap 12 murid perempuannya hingga ada yang hamil dan melahirkan. Ia mengatakan putusan pengadilan harus memberikan hukuman berat kepada pelaku.

“Memang sangat memprihatinkan. Tetapi sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga,” ujarnya.

Kejadian tersebut, tambah Farhan, menjadi momentum untuk segera mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Jadi momentum ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional,” tandasnya.

Terkait tanggung jawab lembaga pendidikan dalam hal ini pesantren, Farhan menilai yang perlu dihakimi adalah pelaku kejahatannya, bukan lembaga pendidikannya.

“Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut,” terangnya.

Legislator NasDem dari Dapil Jawa Barat I (Kota Bandung dan Kota Cimahi) itu mengatakan, kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat dan tidak ada alasan lagi menunda pengesahan RUU TPKS.

Lebih lanjut, Farhan juga menekankan pemerintah daerah harus hadir memberi perlindungan kepada para korban.

“Perlu kita apresiasi upaya Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Provinsi Jabar dan Ibu Atalia Kamil (isteri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil) yang gerak cepat memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial. Perlindungan psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak, termasuk yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir menjadi prioritas utama,” katanya.

Selain itu, pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung dan yang sudah lahir.

“Saya mengajak semua pihak, jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar. Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi,” terangnya.

Farhan menambahkan, dari semua pemberatan hukuman mulai penjara sampai kebiri kimia, ada satu hal yang belum diberlakukan yaitu pembinaan dan rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.

“Rehabilitasi dan pembinaan kepada pelaku, akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku. Tujuannya untuk memberikan efek jera, bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut,” tambah Farhan.

Sayangnya, lanjut dia, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori extraordinary crime (kejahatan luar biasa), sehingga tidak bisa berlaku surut.

“Akibatnya perilaku kejahatan kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu,” tandasnya.

Belum lama ini publik dibuat geram saat terungkapnya beberapa kasus kekerasan seksual. Di antaranya kekerasan seksual oleh seorang guru boarding school di Bandung terhadap 12 murid perempuannya hingga melahirkan.

Tak hanya itu, kasus pencabulan juga terungkap di Cilacap, Jawa Tengah. Seorang guru agama merudapaksa 15 siswinya. (MI/*)

Add Comment