Islam, Politik dan Militerisme Dalam Perspektif Gender

JAKARTA (14 April) : Rangkaian Ramadan bersama NasDem tak terasa sudah mencapai sesi kelima. Prof. Dr. Hj. Siti Ruhaini Dzuhayatin, M.A. hadir sebagai pembicara dalam Bahtsul Kutub Daras Kitab Al-Ahkāmu ‘Sulthāniyyah karya Al-Mawardi.

Para peserta mendapatkan banyak wawasan seputar Islam, politik dan militerisme dalam perspektif gender dari pemaparan Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.

Kajian Kitab Al-Ahkamu ‘Sulthaniyah yang digelar oleh Panglima Itam Library of NasDem bersama Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik DPP NasDem pada sesi kelima ini moderatori oleh Inna Habibah, M.A.

Prof. Ruhaini menerangkan bagaimana militerisme dikonsepkan oleh Al Mawardi dalam bukunya dan dikaitkan dengan perspektif gender. Menurut dia seorang panglima harus memiliki sikap tegas namun pada sisi yang bersamaan juga harus memiliki kelembutan.

“Di satu sisi harus tegas tetapi pada satu sisi yang lain dia juga harus lembut karena panglima juga mendapatkan mandat atas nama sultan untuk melakukan perdamaian,” kata Prof. Ruhaini, Rabu (13/4).

Prof. Ruhaini menilai hal tersebut masih sangat relevan di saat ini. Menurut dia konsep tersebut belum banyak dibahas dalam bahasan fiqih bahwa panglima itu harus memiliki sifat yang biner artinya memiliki sifat-sifat positif dari feminin dan juga maskulin.

Menurut dia yang harus dikedepankan oleh seorang panglima perang adalah rasa-rasa yang cenderung feminin seperti empati kemudian juga menahan diri pada saat itu bisa dilakukan diplomasi karenanya perang fisik itu adalah pilihan terakhir.

“Itu sebetulnya yang tersirat dalam tulisan Al Mawardi ini pada saat harus ada perdamaian,” sambung dia.

Dalam acara yang juga dihadiri Ketua DPP NasDem A. Effendy Choirie dan Suyoto itu konsep berperang dalam Islam merupakan jalan terakhir ketika cara-cara damai tidak bisa dilakukan.

Begitu juga karakter militerisme dalam Islam, kata dia adalah defend atau perdamaian, tidak agresif tetapi mempertahankan mereka yang tertindas. Maka akar dari militerisme di dalam Islam itu sebetulnya, lanjut dia adalah how to defend bagaimana untuk mempertahankan.

“Karena perang itu harus menang tetapi melakukan perdamaian itu harus win-win solution artinya di pihak kita 50 di pihak sana juga 50 dan itu saya kira masih menjadi satu hal yang sangat relevan dan ini sebetulnya justru menjadi dasar dari konsep berperang dalam Islam,” lanjut dia.

Prof. Ruhaini mencontohkan adanya perkembangan luar biasa dari demokrasi dan dunia pendidikan saat ini bahwa di bawah PBB banyak sekali negara-negara di dunia yang mengerem agar tidak masuk ke dalam peperangan seperti pada perang dunia kedua silam. Meskipun terdapat beberapa riak-riak kecil seperti yang melibatkan Rusia dan Ukraina.

“Mengedepankan diplomasi-diplomasi dan itulah sebetulnya posisinya sangat penting,” tandas dia.

Untuk itu dalam perspektif gender justru panglima itu kata dia adalah seorang sosok yang dapat menahan diri. Sebab militer Islam itu adalah berbasis perdamaian yang relevan sampai sekarang ini di dalam mekanisme multilateral yang berjalan.

“Ini yang mungkin kita harus juga menegaskan kembali akar dari tata kehidupan Islam itu adalah damai. Islam sendiri itu adalah damai walaupun di situ ada unsur militerisme itu karakteristiknya yang damai,” tegas dia.

Menurut dia saat ini dibutuhkan kapasitas dari feminin maupun maskulin yang keduanya dibutuhkan secara biner. Dari perpektif gender sendiri menurut dia apabila kita ingin melihat korelasinya dapat kembali merujuk langsung ke dalam asmaul husna.

“Di dalam asmaul husna itu semua sifat itu ada di dalam Allah apakah Allah itu tegas tapi di masa yang sama ada yaa latif jadi sebetulnya asmaul husna itu mendekonstruksi ideologi kebangsaan,” kata dia.

Ditambahkan dia dengan karakteristik manusia kontemporer itu dapat mengambil semua hal yang bersifat positif yang baik-baik dari sifat maskulin maupun feminin.

“Atribut gender itu menjadi sesuatu yang lebih cair, politik pun akan seperti itu jadi tidak masalah siapa yang akan memimpin dalam politik apakah dia laki-laki atau perempuan mereka harus memiliki sifat-sifat gender yang konstruktif maskulinnya yang positif dan feminimnya juga yang positif seperti asmaul husna itu,” kata dia.

Prof. Ruhaini pun membedakan jenis kelamin dan gender dimana jenis kelamin akan terus menetap dari lahir hingga ke liang lahat tetapi kalau gender itu bisa berubah tergantung bagaimana sosialisasinya dan tantangan zamannya.

“Di Uni Eropa semua menteri pertahanannya perempuan semua ya melawan menteri pertahanan Rusia yang laki-laki kira-kira begitu. Jadi kualitas pemimpin sekarang itu adalah memiliki sifat-sifat feminin dan maskulin sekaligus tapi bukan berarti dia menjadi banci loh karena secara jenis kelamin yang sifatnya kodrati tetap tidak berubah,” pungkas dia.

(WH)

Add Comment