MRC: Elektabilitas Ahok-Djarot Teratas
JAKARTA (24 September): Pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat menempati posisi teratas jika pilkada (pemilihan gubernur DKI Jakarta) dilakukan sekarang. Demikian hasil survei yang dilakukan Media Research Center yang dirilis di Jakarta, Sabtu (24 September).
Dalam survei yang dilakukan terhadap 500 orang responden pada 23-24 September itu, elektabilitas pasangan Ahok-Djarot tetap tinggi (37,8%). Menempati urutan kedua: pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (28,3%), dan pasangan Agus Harimukti-Sylviana Murni (17,3%).
Dari 500 responden itu, sebanyak 8,1% menyatakan masih rahasia, dan sisanya (8,5%) mengaku belum tahu siapa pasangan cagub DKI Jakarta yang akan dipilih. Margin of error (MoE) untuk membaca hasil survei ini, disebut MRC, adalah 4,5% pada tingkat kepercayaan 95%.
Sampel dalam survei ini sepenuhnya ditarik secara acak (probability sampling). Kerangka sampel yang digunakan adalah daftar nama pada kartu keluarga (KK) di wilayah RT. Primary sampling unit (PSU) adalah wilayah setingkat kelurahan.
Sejak tahun 2015, MRC mengembangkan riset survei yang terkait dengan perilaku pemilih (voters behavior). Riset semacam ini menjadi landasan dalam survei preferensi politik masyarakat menjelang pemilihan kepada daerah (pilkada).
Penyelenggaraan kegiatan survei preferensi politik pemilih dalam pilkada dilakukan oleh para peneliti yang andal dan memiliki pengalaman di atas 10 tahun di bidangnya. MRC mengklaim hasil survei yang dilakukannya dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
Sejak pertama kali menyelenggarakan survei preferensi politik, hingga saat ini MRC sudah melakukan 46 kali survei. Pengalaman ini setidaknya bisa dijadikan jaminan bahwa survei yang dilakukan sangat kredibel, baik ditinjau dari sudut pandang metodologi, maupun manajemen risetnya.
Survei yang dilaksanakan selama dua hari yang dilakukan MRC menghasilkan data bahwa sebagian besar responden (89,5%) beragama Islam, beragama Kristen Protestan (5,7%), Katolik (2,4%), Budha (1,5%), dan lainnya (0,9%).
Fakta di atas semakin membuktikan bahwa perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) dalam pilkada DKI Jakarta sudah cair, sehingga sentimen SARA tidak bisa lagi dijadikan barang dagangan untuk memenangkan pasangan calon.[]